Secara sepihak, Tyaga memecat Zinia. Wanita itu marah. Tentu. Tak ada pembicaraan sebelumnya tentang hal ini. Karena setelah kembali libur selama tiga hari, Zinia hanya bekerja dua hari sebelum kembali sakit.
Benar jika hal ini bisa menjadi omongan teman kantor yang lainnya, apalagi begitu mudah libur yang Tyaga berikan. Tapi Zinia marah saat tanpa kata atau peringatan ia dipecat begitu saja.
Di kamar apartemen yang tak bisa wanita itu tinggalkan karena ada dua pengawal yang berjaga di depan gedung, Zinia bersembunyi. Sudah hampir sepuluh hari dirinya tinggal di tempat ini dan tiga hari ia hindari Tyaga yang terus datang untuk menjelaskan.
Tapi mungkin lelah sendiri dengan pelarian yang hanya diam di tempat. Zinia akhirnya keluar menemui Tyaga yang sudah berada di tempat kini dirinya tinggal selama hampir tiga jam.
Sebenarnya Zinia lapar, karenanya ia keluar.
Melihat dengan raut datar sosok Tyaga yang langsung berdiri dan tersenyum lega saat melihat sosok Zinia di ambang pintu kamar yang terbuka, pria itu mendekati Zinia yang langsung melengos dan berjalan ke dapur.
Tyaga tahu ia berhak mendapatkan marah Zinia. Tapi ia hanya berpikir jika tak baik Zinia terus bekerja di tempatnya sementara perut wanita itu akan semakin membesar.
"Kamu lapar?" Melihat Zinia membuka kulkas dan mengambil sebuah apel, Tyaga bertanya.
Batin Zinia berteriak, jika datang setidaknya bawalah makanan.
Tyaga menyiapkan banyak bahan makanan di kulkas, tapi masalahnya Zinia mual dengan aroma bumbu yang ditumis. Dia hanya bisa makan saja, karena itu sejak kemarin ia hanya makan roti, telor rebus, dan buah-buahan.
Diacuhkan oleh Zinia yang tak mungkin meneriakkan protesnya, Tyaga menarik napas dalam. Dia tak boleh marah meski rasanya tak enak sekali tak dianggap begini.
Dunia terbiasa menatapnya.
"Ini." Mengeluarkan sebuah kartu, Tyaga meletakkan di meja pantri. "Kamu bisa membeli kebutuhan kamu dengan ini. Juga kalau mau memberi orangtua kamu. Kamu boleh menggunakannya."
Masih tak mendapat respon dari Zinia yang memakan apelnya sambil berdiri di samping kulkas. Ekspresi wanita itu saat menggigit buah di tangannya, seperti ingin melahap Tyaga hidup-hidup.
"Okey. Aku salah. Tapi ini untuk kebaikan kam--"
"Jangan memutarbalikan fakta." Menatap Tyaga dengan berani, karena sekarang ia bukan bawahan pria itu lagi. Zinia yang dulu diamnya saja bisa membuat Tyaga, kini begitu berbeda dengan raut dinginnya. "Untuk kebaikan bapak! Bukan saya!"
Tyaga hanya mampu menelan saliva yang terasa kelat.
"Bapak sudah menghancurkan saya sekali. Meminta saya berkorban lagi untuk anak ini." Ia tunjuk perutnya. "Lalu bapak pecat saya di saat ada orangtua dan adik-adik yang harus saya biayai."
"Saya akan bayar semua --"
"Selalu uang sebagai pemutus masalah." Zinia mendengkus.
Membasahi bibirnya sebelum ia sugar rambut ke belakang dengan geraman tertahan, Tyaga jatukan kedua tangan di sisi meja. "Aku minta maaf, Zinia. Semua sudah terjadi. Bukankah yang harus kita lakukan saat ini adalah berdamai?"
Tak putus menatap Tyaga, Zinia diam sesaat sebelum menggeleng pelan dan kembali melangkah meninggalkan Tygaa yang tak bisa terus didiamkan begini seolah ia adalah pria terburuk di muka bumi.
Tyaga hanya ingin mencoba untuk bertanggung jawab.
"Akan sampai kapan seperti ini, Zinia? Bukankah lebih baik kamu menerima tawaranku, daripada kehilangan begitu banyak dan tidak dapat apapun?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
Roman d'amourOrang ketiga masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Merusak kebahagiaan yang ia punya, menggantikan dengan duka bertubi-tubi. Dengan hati yang tak baik-baik saja, Raddine memutuskan untuk bercerai. Namun menanti semua kembali sepert...