Part 13

4.7K 658 67
                                    

Tak ada yang pria itu lakukan selama dua hari ini. Bahkan sanggup ia bohongi sang istri dengan mengatakan jika dirinya begitu sibuk bekerja yang nyatanya ia hanya berada di kantor tanpa melakukan apapun.

Pekerjaan terbengkalai karena pikiran yang terasa begitu penuh namun satupun solusi tak bisa ia dapatkan dari masalah yang menimpa. Rasanya kepala Tyaga akan pecah memikirkan apa yang terjadi pada dirinya saat ini.

Dua kali mentari terbenam, gelap menyelimutinya dengan pikiran yang penuh namun seperti kosong, ibarat langit malam yang tak ada bulan di antara jutaan bintang. Tyaga benar-benar merasa buntu di antara banyaknya pilihan yang bisa ia ambil untuk mengatasi masalah yang menimpa.

Namun semua pilihan hanya menguntungkan dirinya seorang di saat dalam hal ini juga ada Zinia yang turut menjadi korban.

Egoiskah jika ia minta wanita itu melahirkan bayinya tanpa sebuah pertanggungjawaban? Lagi pun, nasi sudah menjadi bubur. Ia tak bisa mengembalikan keadaan seperti semula, namun dengan meminta Zinia melahirkan bayinya, kemudian wanita itu bisa melanjutkan hidupnya lagi dengan kompensasi yang akan Tyaga beri.

Rasanya itu adalah jalan keluar terbaik, namun mungkin iblis akan mengatai dirinya sebagai manusia yang paling kejam.

Kejiwaan wanita itu jelas tergoncang, dan Tyaga hanya memikirkan isi perutnya sendiri.

Tapi memangnya apa yang harus ia lakukan? Menikahi Zinia? Lalu bagaimana dengan istrinya?

Aaarrghh!

Meremas kepala dengan kasar, Tyaga yang berada kamar yang letaknya di dalam kantornya sendiri dengan sekat pembatas, ingin rasanya teriak dan menghancurkan seluruh moral yang menjadi penghalang untuk semua solusi yang sudah berputar di kepala.

Andai ia tak perlu memikirkan perasaan siapapun itu, mungkin hal seperti ini tak perlu terjadi. Ia tinggalkan Zinia pun bayi yang ada di dalam rahim wanita itu, atau ia ambil bayi itu dan membayar Zinia dengan sejumlah kompensasi karena sudah melahirkan anak untuknya dan Tyaga akan membesarkan anaknya bersama sang istri--bisa ia buat alasan apapun agar Raddine sudi menerima anak itu, kan? Atau jika tidak ia nikahi saja Zinia dan Raddine tak perlu mengetahuinya.

Andai tak ada batasan moral dan nurani, sudah ia ambil salah satu jalan keluar yang terlintas meski itu akan menyakiti berbagai pihak hanya demi kedamaiannya sendiri.

"Oooh!" Tyaga mengusap wajahnya yang mungkin sudah sangat pucat sekarang.

Meneguk Saliva, membasahi tenggorokan yang terasa kering, Tyaga yang baru akan keluar dari ruang isolasi yang ia gunakan untuk merenungi solusi paling tepat, menatap ponsel yang berdering.

Tyaga segera menjawab panggilan itu. Sebuah panggilan bukan dari istrinya yang bahkan sejak kemarin tak lagi ia balas pesannya. Dia hanya mengatakan sedang begitu sibuk dan dirinya akan lembur selama beberapa hari yang mungkin akan membuat Raddine sulit menghubunginya. Ya ... hal seperti ini biasa terjadi dan sang istri dapat memaklumi meski kenyataannya sesibuk apapun dirinya dulu, jika hanya untuk membalas pesan, tak mungkin ia tak memiliki waktu.

Ini panggilan dari rumah sakit, lebih tepatnya salah seorang perawat yang ia minta untuk menjaga Zinia. Dua hari ini ia tak menemui sang istri bukan berarti ia sibukkan diri untuk menemui Zinia. Tidak. Tyaga benar-benar tak keluar dari kantornya karena berharap dengan menyendiri, ia akan mendapatkan solusi.

Tapi nyatanya nihil.

"Hari ini dia keluar? Baiklah, terima kasih."

Mematikan panggilan, Tyaga yang aktivitasnya hanya terjadi di dalam kantornya saja lantas keluar, sedikit membuat Astrid terkejut karena sejak pagi Tyaga terus berada di kamar istirahat, bahkan tamu yang ingin menjumpai pria itu ditolak. Namun Astrid tak berani bertanya karena apa yang sedang terjadi itu bukan ranahnya untuk mengetahui.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang