Part 10

5.7K 710 99
                                    

Acara menjamu tamu dari Jepang baru usai pukul sepuluh malam. Setidaknya semesta memberi satu keringanan saja untuk Zinia yang harus kerja lembur di saat ia kira dapat pulang cepat hari ini. Tapi tampaknya tak ada keringanan untuknya yang begitu lelah dengan wajah pasi itu. Lihat lah. Hujan akan menemani kepulangannya. Belum lagi angin yang bertiup kencang dan cahaya dari kilatan petir yang semakin menyempurnakan hari sial bagi Zinia.

Berdiri di depan restoran berbintang tempat di mana ia dan atasannya menjamu tamu, Zinia menahan pegal pada tumit sambil bersandar di salah satu tiang beton untuk menopang tubuh lelahnya. Peluh yang tadi menetes dari kepala, mulai bergabung dengan air hujan. Menjadi satu membasahi wajahnya yang menengadah berharap Tuhan hentikan tangisan langit.

Setidaknya malam ini saja beri ia sedikit keberuntungan dari sekian kesialan yang ia miliki.

Sementara itu tak jauh di belakangnya, tubuh tinggi tegap itu berdiri kokoh seolah gelegar guntur tak akan membuatnya mundur. Ini bukan hari yang membahagiakan untuknya meski dengan kehadiran tamu dari Jepang akan membantu meningkatkan nilai saham perusahaan. Tak ada yang membuatnya senang apalagi tenang sejak ia tahu jika hari ini ia harus pergi bersama wanita yang ingin terus ia hindari. Tapi ia berdiri tampak angkuh, hanya karena tak ingin terlihat betapa rapuhnya jiwa yang ia punya saat ini.

Perasaan bersalah karena mengkhianati sang istri perlahan terkikis lantaran sugesti yang ia buat berhasil membuatnya kembali percaya diri. Ya ... Yang terjadi beberapa waktu lalu adalah kesalahan yang tak sengaja ia lakukan. Namun perasaan bersalah pada wanita yang sedari tadi diam tak jauh darinya lah yang membuat ia tersiksa. Tapi alih-alih bersikap rendah diri dengan membuat semua menjadi damai, Tyaga malah memilih untuk mencipta tembok pemisah antara dirinya dan Zinia.

Dia tak tahu harus bersikap seperti apa. Namun menjauh dan menjadi tak tersentuh sepertinya salah satu cara ampuh untuk membuat dirinya melupakan apa yang telah ia lakukan pada Zinia.

Tangan yang berlipat di dada berpindah ke saku celana saat mobil miliknya telah dibawa kehadapan oleh petugas valet. Segera masuk tanpa basa-basi menawarkan tumpangan. Tyaga hanya menyalakan klakson sebelum berlalu pergi.

Dari kaca mobil ia lihat sekilas tubuh mungil Zinia yang berbalik ke arah sedan hitam miliknya, mengangguk sesaat sebelum kembali berdiri menatap langit yang bersenandung dengan air matanya.

Perasaan tak tega lantas menjalar seperti akar. Menerkam Tyaga yang berusaha menepis perasaan yang tak semestinya hadir namun malang karena ternyata hati tak sesuai dengan gerak tubuh yang malah menghentikan mobil di bahu jalan, tempat di mana ia masih bisa menangkap sosok Zinia yang tak tahu sedang menanti apa.

Tidakkah wanita itu menelepon taksi?

Menanti beberapa saat, kening Tyaga mengernyit saat ia dapati Zinia yang membelah hujan tanpa ragu. Baru beberapa langkah, tubuh itu telah basah. Namun seolah tak mempedulikannya, Zinia terus bergerak cepat dan tak jauh dari hadapannya, wanita itu berhenti dengan tangan melambai ke depan.

Tyaga menoleh ke kanan, mencari tahu apa yang sedang Zinia hentikan. Sampai sebuah motor berhenti di hadapan wanita itu, hati Tyaga teremas kian kuat. Entah ini kasihan atau rasa bersalahnya yang tak memberi Zinia tumpangan.

Di tempatnya, Tyaga hanya memperhatikan kepergian wanita itu yang bahkan tak bersusah payah menutupi kepala dengan tas yang terus digenggam.

Tapi satu hal yang kini tak Tyaga mengerti.

Mengapa dirinya tak melanjutkan perjalanan sementara Zinia bahkan telah lenyap dari pandangan. Apa yang sedang pikirkan? Rasa kasihannya pada Zinia hingga ia lupa jika harusnya kini ia ke rumah mertua untuk menjemput sang istri.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang