part 18

5.1K 740 201
                                    

Mudah sekali untuk mengambil hati seorang Raddine ketika wanita itu marah. Benar, marahnya Raddine cukup membuat gentar. Namun jika memiliki alasan yang kuat untuk dimaafkan makan seperti es yang dipanaskan, semudah itu hari Raddine mencair.

"Istri temenku telepon kalau temenku kecelakaan. Dia dari Malang, kebetulan ada urusan di Jakarta, jadi dia berangkat nyetir sendiri. Mungkin kecapekan, dia kecelakaan di tol. Sebenarnya yang dihubungi ngga cuma aku. Cuma yang jawab paling cepet aku, makanya panik, aku langsung ke rumah sakit. Aku benar-benar lupa bilang ke kamu, sayang. Jangankan bilang. Aku aja masih pakai baju tidur waktu pergi. Terus hape ngga aku pegang. Ketinggalan di mobil. Maaf ya sayang. Aku memang salah banget. Hukum aja deh, ngga apa-apa. Tapi jangan diemin aku, please?"

Sudah.

Begitu saja penjelasan yang Tyaga karang selama perjalanan pulang. Dia benar-benar buntu tadinya, tapi tak sengaja melewati lokasi kecelakaan, ide segera muncul.

Akhirnya seperti dugaan, Raddine memaafkan. Bahkan kemudian memasakkan ulang untuk pria itu--Salad yang dibuat dibuang karena maraha--dan ya ... Rasa bersalah lantas menggerogoti Tyaga, meski kemudian ketika ia ingat bagaimana pergulatan hebat bersama Zinia terjadi dengan kesadaran utuh, rasa bersalah itu perlahan menjadi samar.

Kini ketika ia alami sendiri, Tyaga tahu jika hati bisa memiliki dua cinta. Pertama adalah milik Raddine. Kedua milik Zinia. Tak sebesar rasa yang ia miliki pada sang istri, namun rasa tak nyaman ketika jauh dari Zinia terlebih saat sadar tak bisa ia miliki wanita itu, membuat ia yakin cintanya pada Zinia setidaknya sudah menduduki posisi berarti.

Lalu hubungan terlarang ini telah berlalu selama seminggu. Hari-hari yang mendebarkan sekaligus menyenangkan Tyaga lewati bersama Raddine dan Zinia. Dia tak mau ketahuan. Namun tak mau juga harus kehilangan salah satunya.

Ia ingin memiliki keduanya untuk dirinya sendiri.

Berdosa?

Tapi cinta mengatakan tak apa.

"Nehan mana? Ngga ikut sarapan lagi?"

Meja makan yang hening, seperti biasa selalu tak nyaman karena suasana kumpul keluarga selalu saja dingin, pecah oleh pertanyaan Tiyo yang mencari-cari putranya dari wanita selain Rissa.

Mendengkus, Rissa lalu mengedikkan bahu. "Tempatnya memang bukan di sini."

Menarik napas dalam, sedikit rasa tak terima karena putranya selalu tak dipedulikan Rissa, Tiyo lalu berdiri.

Ingin ia panggil putranya tapi Bik Ripah segera datang dan menghampiri pria paruh baya itu. Sesaat Ripah melirik Rissa sebelum kemudian menatap Tiyo lagi dengan sungkan. "Anu bapak, bapak cari mas Nehan?"

"Heem." Tiyo hanya berdeham. Ada rasa tak suka terhadap Ripah yang merupakan kaki tangan istrinya.

"Itu, pak. Tadi subuh mas Nehan baru pulang. Mukanya babak belur. Terus dia bilang jangan diganggu pagi ini."

Pernyataan itu didengar jelas oleh Tyaga yang ikut mengelilingi meja makan, pun dengan Raddine yang memilih berhenti menyendok ketika suasana tegang mulai menyelimuti.

"Anak ngga tahu diri!" Rissa mengumpati putra tirinya namun Tiyo yang tak serta merta percaya langsung bergerak menuju anak tangga.

Akan ia lihat apakah ucapan Ripah benar atau hanya rekayasa saja.

Tapi seperti yang sudah-sudah. Semua bisa ditebak.

Raddine di tempatnya menarik napas dalam, mempersiapkan teriakan dan amukan dari Tiyo.

Menatap Tyaga yang ikut tegang, wanita itu memberi senyum dan usapan di tangan sang suami. "Aku udah," bisiknya.

Ketidaknyamanannya ditangkap oleh Rissa yang menatap dingin sebelum kemudian bola mata bergulir menuju ponsel di sisi piringnya.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang