Langit sedang menangis. Sejak sore memandikan bumi dengan air matanya. Suasana begini dingin sudah tentu menjadi sahabat yang akrab, namun juga mencipta sepi jika tak ada teman yang mampu memberi hangat. Jadilah selimut menggulung tubuh Raddine yang memimpikan Tyaga ada di sampingnya, memeluk ia dengan erat.
Sedang begitu lelap, dibuai mimpi indah karena Tyaga ada di dalam bunga tidurnya. Raddine mengerang sebal saat ponselnya berdering. Ia mengulurkan tangan, mencari-cari keberadaan gawai yang di jaman kini seolah menjadi nyawa kedua bagi manusia.
Berteman melalui ponsel, bersosial melalui ponsel, berbincang melalui ponsel, tak sedikit yang bekerja melalui ponsel, belajar pun kini banyak yang menggunakan ponsel, mengenal dunia luar juga melalui ponsel.
Tapi ini malah seperti penjara yang memberi sejuta fasilitas, sampai kemudian di hari eksekusi baru menyadari jika mereka hidup di dunia nyata, namun kehidupan sosial yang dibangun selama ini hanya ada di dunia maya.
Kesepian yang sesungguhnya kemudian menyapa.
Yah ... Karenanya Raddine dan White Horses melarang adanya ponsel ketika sedang berkumpul. Jadwal berkumpul pun dibuat rutin. Satu minggu dua kali. Andai ada yang tak bisa hadir karena kesibukan di rumah, mereka akan mendatangi rumah teman yang sedang sibuk ini, biasanya malah untuk berkumpul mengasuh bayi.
Biasanya ke Panti Asuhan milik Nadhira yang akan jadi lebih sibuk jika di tempatnya kedatangan bayi-bayi baru.
Pun hubungan Tyaga dan Raddine. Mereka akan berbincang, bercengkerama dengan harmonis tanpa adanya gawai di genggaman.
"Hal--"
"Sayang ... Aku di depan."
Mata yang tadinya masih terpejam, segera terbuka lebar kala dari ponselnya terdengar suara yang begitu ia rindukan.
Memutar tubuh menjadi telungkup, Raddine melihat layar ponsel dan menganga tak percaya jika yang menghubunginya adalah Tyaga. Tahu begini tak akan tadi ia mengerang kesal karena tidurnya diganggu.
"Sayang?"
Raddine kembali menempelkan ponsel ke telinga. "Bee ... Kamu di mana?"
"Di depan sayang. Aku ngga enak pencet bel. Nanti ganggu yang lagi tidur."
Bibir Raddine langsung mengerucut lucu. "Tunggu aku," jawabnya kemudian gegas untuk turun.
Langkahnya begitu semanga untuk meraih obat kerinduan yang menimpanya selama beberapa hari ini.
Hampir melompat pada anak tangga terakhir, Raddine yang terlampau bahagia menahan pekikan riang karena Tyaga pulang lebih cepat dari perkiraan. Namun senyum senang hilang berganti ringisan saat ia lihat sosok Nehan yang tertidur di sofa. Bocah itu meringkuk dengan selimut menggulung tubuh, begitu lelap seolah tak ada kamar untuk tempat beristirahat.
Pemandangan yang sering Raddine temui. Padahal tahu jika Rissa melihat ini, Nehan akan dimarahi. Tapi terus mengulang apa yang tak Rissa sukai seolah memang ingin menguji kesabaran ibu mertua Raddine itu.
Berjalan, tak lagi lari-lari karena sungkan juga jika Nehan bangun karena dirinya. Tangan yang mengayun tak sengaja menyenggol vas bunga. Segera menangkap agar vas kaca itu tak jatuh, Raddine dengan lidah digigit meringis cemas.
Dia tak mau juga Rissa sampai bangun dan mengganggu kemesraan yang sudah terbayang di kepala bersama Tyaga.
Pulang tak sesuai jadwal, nanti akan banyak pertanyaan yang Rissa ajukan kepada Tyaga tak peduli ini tengah malam.
"Kak Raddine?"
Tersentak mendengar bisikan di belakang, Raddine meletakkan vas bunga ke tempat semula sebelum berbalik dan melihat Nehan yang sudah berdiri dengan wajah kantuk dan rambut ikal acak-acakannya, sementara selimut dan bantal pria itu peluk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
RomanceOrang ketiga masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Merusak kebahagiaan yang ia punya, menggantikan dengan duka bertubi-tubi. Dengan hati yang tak baik-baik saja, Raddine memutuskan untuk bercerai. Namun menanti semua kembali sepert...