Part Dua

10.5K 1.4K 122
                                    

Apakah sekarang Raddine masih harus memaklumi kelakuan ibu mertuanya?

Dia tak tahu mengapa. Seminggu belakangan, Rissa seolah ingin membuat dirinya tak betah. Namun jika memang ingin mengusirnya dari tempat ini, katakan saja. Raddine bahagia jika harus tinggal di rumahnya sendiri. Namun ... Dia malah ditahan, alasannya tak mau jauh dari Tyaga.

Uh ... Kesabaran Raddine benar-benar diuji. Namun tak terbiasa meluapkan emosi, ia hanya bisa mengelus dada dan lagi-lagi terpaksa memaklumi.

"Besok jangan mau kalau disuruh masak mama."

Mencoba untuk tak cemberut, namun tetap saja tak bisa mengelabui suami yang tahu dirinya kecewa, Raddine lalu mengusap saos di sudut bibir Tyaga yang berusaha menghabiskan masakannya yang masih bersisa banyak.

Tamu yang kata Rissa akan datang katanya memilih untuk bertemu di luar saja. Raddine tak tahu apakah memang benar begitu, atau mertuanya saja yang ingin mengerjai dirinya.

"Udah, ya? Biar nanti mba Lea anter ke rumah sodaranya."

Mubazir dibuang. Tapi jika harus Tyaga habiskan, Raddine tak tega. Suaminya pastilah kekenyangan.

"Ini pertama kali kamu masak sebanyak ini. Rugi kalau dikasih orang. Simpan di kulkas, besok dipanasi aja, ya? Aku bawa ke kantor."

"Ngga." Raddine tak akan memberi suaminya makan dari makanan yang dihangatkan. Menurutnya itu tak sehat. "Lebih baik secepatnya dihabiskan. Jadi biar mba Lea antar ke sodaranya."

Raddine berdiri dan menarik tangan sang suami untuk ia bawa ke wastafel. "Cuci tangan dan tidur," katanya yang mau tak mau Tyaga turuti.

"Perut aku rasanya penuh."

"Makanya, dibilangin juga." Memukul pelan perut Tyaga yang hanya membusung sedikit, Raddine lantas tertawa mendengar desis kesakitan prianya.

"Nanti keluar lagi makanannya," kata pria itu. "Ya udah ayo ke kamar." Tyaga memeluk leher istrinya dari belakang. "Kangen kamu," bisiknya seduktif.

Segera melepaskan diri dari Tyaga karena tak mau aksi mereka ada yang memergoki, Raddine berjalan mendahului. Namun tiba di anak tangga, langkahnya berhenti ketika ia dipanggil oleh ayah mertua.

"Maafin mama ya, Raddine?"

"Ooh." Raddine tersenyum sebelum bola mata mengarah pada Tyaga yang mendekat lalu ia tatap Tiyo kembali. "Ngga apa, pa. Lagian kan untuk makan malam juga," jawabnya dengan hati menghangat saat jemari Tyaga mengisi sela-sela jemarinya.

"Papa ngga usah mikirin apa-apa. Sekarang tidur. Kami juga mau tidur," timpal Tyaga kemudian.

Lagipula ia juga tak bisa marah dengan sikap Rissa meski kecewa.

"Ya sudah, istirahat lah Raddine." Tiyo menatap putranya. "Papa mau bicara, ditunggu di ruang kerja, ya?" Ada keseriusan di sorot Tiyo namun Tyaga menanggapinya dengan santai.

"Oke, pa," katanya lantas mengajak sang istri untuk ke kamar.

"Papa mau bahas apa?"

Tiba di kamar, duduk di sisi ranjang. Tyaga tak langsung menjawab tanya sang istri, sebelum ia baringkan tubuh ramping itu dan menindihnya. "Mungkin masalah Nehan. Setelah dia lulus, papa mau memberi jabatan di kantor."

"Jabatan apa?"

Tyaga mencumbu leher sang istri yang memiliki wangi buah. Perpaduan beberapa buah yang terasa segar ketika menghirupnya.

"Entah. Itu terlalu terburu-buru, kan? Dia bahkan ngga tau apa-apa." Lantas duduk berlutut dengan mengapit paha sang istri, Tyaga melepas piyama yang dikenakan.

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang