Part 21

12.1K 1.1K 314
                                    

Lebih dari tiga puluh menit wanita itu terdiam tampak berpikir namun kenyataannya kepala terasa kosong. Dia tak menangis, isaknya bahkan sudah lenyap beberapa saat yang lalu ketika ia meyakinkan diri jika semua hanyalah rekayasa. Mungkin benar, ada yang ingin menjatuhkan nama baik suaminya atau Ada yang ingin merusak hubungannya dengan Tyaga. Bukankah Rissa sang mertua juga tak menyukai dirinya? Barangkali ini adalah ulah dari ibu Tyaga sendiri yang memang tak menyukainya.

Dan tentang Zinia ... Entah berapa uang yang Rissa keluarkan untuk membayar mantan sekretaris Tyaga itu. Mungkin cukup fantastis hingga wanita itu rela menjadi salah satu pihak yang menghancurkan rumah tangga Tyaga dan dirinya.

Meringkuk di atas ranjang mulai mencipta praduga yang tak menyudutkan suaminya, dengkus geli Raddine lalu terdengar. Sebenarnya siapa sih yang sedang ia bodohi saat ini?

Di foto-foto itu ada Tyaga. Bahkan orang awam pun tahu itu bukan rekayasa. Itu nyata. Bagaimana pria itu tersenyum dengan Zinia, mengecup kening wanita itu dan di atas kapal persiar berlatar belakang laut biru dengan langit berwarna senada, Tyaga memeluk Zinia begitu mesra.

Itu bukan rekayasa.

Bibir mencebik, terlihat menyedihkan karena di sini ia terus meyakinkan diri jika tak mungkin sang suami mengkhianati dirinya. Raddine dengan tangan bergetar meraih ponsel yang ada di samping bantal.

Tatapannya nanar kala ia coba untuk menghubungi sang suami. Tidak ingin marah. Hanya ingin bertanya sedang di mana dan bersama siapa pria itu saat ini?

Sedang tidur dengan Zinia, kah?

Hah!

Pemikiran yang lucu

"Halo sayang?"

Tak ada yang berubah. Sapaan pria itu masih terdengar manis di telinganya.

"Sayang? Kok diem? Kenapa?"

Lalu air mata yang sudah ia hentikan sejak tadi menetes lagi.

Tyaga tak mungkin mengkhianatinya, kan?

Dia mencintai pria itu. Dan pria itu harusnya juga mencintai dirinya.

"Bee...." Begitu lirih saat panggilan sayang itu keluar dari bibirnya, Raddine membuat pria yang di seberang sana merasa cemas.

"Heey! Kamu sakit? Kok suaranya parau?"

Raddine kemudian duduk dan ia hapus air mata yang mempengaruhi getar suaranya. Menarik napas dalam, bersikap seolah tak pernah ada badai yang menghantam semua mimpi indah yang hanya akan tercipta jika dirinya bersama Tyaga, wanita itu bertanya; "Di mana?"

"Ooh sudah di airport, sayang. Perkiraan jam tujuh kurang udah sampai Jakarta."

Hanya mengangguk tanpa suara, Raddine yang merasa begitu hampa kembali menarik napasnya dengan dalam. "Aku jemput, ya?"

"Ha?! Eeh ... Ngga usah, sayang. Pak Tim udah jemput soalnya. Lagian--"

"Kenapa kaget, sih?" Tanpa nada ia berkata, Raddine yang merasa kini raganya hanya berdiri sendiri tanpa nyawa mengumbar senyumnya.

Senyum yang memperolok diri yang berusaha untuk percaya pada sang suami.

Dari keterkejutan Tyaga tadi seolah membenarkan semua foto yang ia dapat entah dari siapa.

Nomor itu sudah tak aktif lagi ketika ia coba untuk hubungi.

"Bukan kaget, cuma ngga biasanya aja kamu mau jemput. Kamu di rumah mama Gayuh aja, nanti aku jemput, ya? Ya udah kalau--"

"Bee...."

"Ya, sayang?"

Raddine meremas sprei di sisi kiri tubuhnya. "Sama siapa?"

Kali KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang