Raddine jadi begitu merasa bersalah karena ketika ia pulang, Tyaga sedang sibuk merapikan baju ke dalam koper seorang diri.
Dia lupa jika suaminya akan pergi ke luar kota besok. Tapi malam ini dirinya malah pulang begitu larut.
"Ya ampun aku lupa."
Menarik perhatian Tyaga yang langsung menoleh ke arah pintu yang memang tak dirinya tutup, Tyaga berdiri. "Baru pulang?" Ekspresi pria itu tampak seperti menahan marah, namun tak bisa melampiaskannya.
Tyaga hanya berpikir pulang malam yang Raddine maksud adalah pukul sembilan malam. Tapi ternyata lewat pukul sebelas malam, wanita itu baru tiba di rumah.
"Aku coba telepon kamu Bee, tapi ngga kamu angkat."
"Lagi dicas." Tyaga menjawab singkat sebelum kembali memasukkan pakaian ke dalam koper.
Dirinya khawatir pada Raddine. Ingin menjemput sang istri namun tak mau dianggap terlalu mengkekang meski sebenarnya ia merasa memiliki hak.
Tapi sudahlah.
Sudah berulang kali ia minta Raddine di rumah saja. Usaha butik dan konveksi milik wanita itu bisa dikelola oleh orang kepercayaan Raddine. Sesekali menjenguknya tak masalah. Tapi harus turun tangan setiap hari dan pulang malam begini--meski jarang--membuat Tyaga khawatir akan kesehatan sang istri.
Tahu sang suami pasti kesal, Raddine meletakkan tas ke meja rias sebelum dirinya dekati sang suami untuk membantu mengepak pakaian. "Asmara ngajak ngobrol lama." Dia mencoba menjelaskan apa alasannya pulang terlalu larut.
"Tapi bukan itu yang aku permasalahkan." Tyaga menatap istrinya yang terlihat lelah. "Kamu pulang malam. Aku khawatir."
Tapi tak tiap hari. Bahkan tak tentu seminggu sekali.
"Apa kamu harus bekerja? Maksudku...." Tyaga berpikir untuk memilih kata yang tepat, tak mau Raddine tersinggung nantinya. "Bisakan--"
Sama-sama duduk berlutut di atas lantai, Raddine lalu mengelus pipi sang suami, mengangsurkan wajah untuk mengecup bibir pria itu. "Kamu butuh amunisi sebelum ninggalin aku besok kan, Bee?"
Ugh!
Tyaga tak bisa untuk tak merona mendengar ucapan istrinya.
Amunisi yang Raddine maksud adalah bercinta dan jelas Tyaga membutuhkannya.
"Tapi kamu capek."
Raddine yang sudah memutuskan untuk berhenti mengelola secara langsung usahanya karena Cyra sudah siap untuk dilepas secara mandiri namun merahasiakan hal ini dari Tyaga karena ingin memberi kejutan pada sang suami, lantas memagut bibir Tyaga.
Ia rangkul leher pria itu, melupakan tugas mengepak pakaian karena bisa ia lakukan besok. "Aku butuh kamu." Bukan istirahat meski tubuhnya lelah.
Raddine harus menebus rasa bersalahnya dan cara ini selalu berhasil.
Menjilat permukaan bibir sang istri, lalu menggigit bagian bawah bibir Raddine yang sedikit tebal, Tyaga melepaskan diri dengan netra melirik ke arah pintu. "Kunci pintu," bisik pria itu segera bangkit.
Hal ini Raddine manfaatkan untuk segera ke kamar mandi.
"Aku bersih-bersih sebentar."
Ah sial!
Tyaga suka aroma keringat Raddine yang masih menebar wangi buah meski agak samar.
"Ayo sama-sama."
Tyaga membuka pintu membuat Raddine yang sedang melucuti pakaian terpekik sesaat.
Rambut panjang wanita itu yang tadinya tergelung sudah terurai menutupi sebagian dada yang terbuka.
"Bee, aku mandi dul--"

KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua
RomantizmOrang ketiga masuk ke dalam kehidupan rumah tangganya yang harmonis. Merusak kebahagiaan yang ia punya, menggantikan dengan duka bertubi-tubi. Dengan hati yang tak baik-baik saja, Raddine memutuskan untuk bercerai. Namun menanti semua kembali sepert...