Ini tiga belas

18.1K 1.2K 17
                                    

Zora sudah siap dengan seragam sekolahnya dan Emir pun sudah siap dengan style kuliahnya lengkap dengan almamater kampus berwarna hitam.

" Pulang jam berapa?". Tanya Zora menghampiri Emir.

" Paling jam 2". Zora mengangguk-angguk.

Atensinya terarah pada kerah baju Emir yang kurang rapih. Tangan Zora pun terarah untuk merapihkan kerah baju Emir.

" Kakak tuh yang bener pake bajunya masa kerahnya gak kelipet gini kan gak enak di liatnya". Celoteh Zora.

Emir tersenyum memperhatikan wajah Zora yang nampak serius merapihkan kerah bajunya.

" Makanya kamu yang rapihin". Goda Emir.

Zora mendongak ke arah Emir dengan tatapan tajam dan bibir memanyun. Ekspresi yang membuat Emir sangat gemas.

Cup...

Emir dengan iseng mencuri kesempatan untuk mengecup bibir Zora. Zora melotot terkejut dan langsung memukul lengan Emir kesal.

" Aduh aduh". Pekik Emir berusaha menghindari pukulan Zora.

" Gak sopan kakak ya cium-cium bibir orang sembarangan ih ih". Gerutu Zora sambil terus memukuli tubuh Emir.

" Ummah tolong". Emir keluar kamar dan berlari menuruni tangga. Zora pun mengikuti masih dengan ancang-ancang memukul.

Sesampainya di bawah, Emir langsung menghampiri Ummah nya yang sedang menyiapkan sarapan pagi.

" Ummah". Emir bersembunyi di belakang Icha untuk menghindari pukulannya.

" Astagfirullah kalian ini". Icha geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka.

" Kak Emir tuh Ummah, ngeselin". Wadul Zora menuding Emir dengan bibir memanyun.

" Jangan berantem-berantem. Udah duduk!". Perintah Icha dan keduanya pun duduk.

Gus Razka yang sedang duduk pun terkekeh juga. Ia jadi teringat masa mudanya dulu dengan Icha. Kurang lebihnya mereka berdua pun mirip-mirip seperti Emir dan Zora.

" Ummah". Panggil Gus Razka.

" Iya? Nasinya kurang ayah?". Tanya Icha seraya duduk di samping Gus Razka

Gus Razka tersenyum dan menggeleng.
" Ayah cuma teringat waktu kita muda Ummah. Kita juga dulu kaya mereka ya". Icha tersenyum mengingat masa-masa mereka muda dulu.

" Iya Yah. Dulu juga kita lari-larian sampai di tegur Umi". Mengucapkan kata Umi tiba-tiba raut Icha menjadi sedih dan tanpa permisi air matanya tiba-tiba turun membasahi pipinya.

" Sstt... Jangan nangis". Gus Razka mengarahkan tangannya ke arah pipi Icha dan menghapus air matanya lembut.

" Kangen Umi Abi hiks...". Icha memeluk tubuh Gus Razka dengan terisak-isak.

Jika saja Ia tak sengaja teringat dengan Almarhumah Umi Farah dan Almarhum Pak kyai Salim, pasti Icha selalu sedih dan berjuang menangis. Ia benar-benar tak kuat saat mengingat kenangan indahnya bersama kedua orang itu.

Umi Farah bagi Icha adalah sosok ibu yang baik untuk anak-anaknya. Bahkan dia tidak pilih kasih terhadap menantu juga. Umi Farah lah yang selama ini telah menggantikan sosok Ibu nya yang telah tiada. Begitu pula dengan Pak kyai Salim yang menjadi sosok pengganti ayahnya yang telah meninggal juga.

Dengan kedua mertuanya yang sudah seperti orang tua kandung sendiri itu, Icha menjadi lebih tegar dan punya semangat hidup kembali walaupun kedua orangtuanya telah tiada. Jika pun Icha rindu Ia pasti akan curhat kepada Allah menyampaikan kerinduannya terhadap ke2 orang tua kandungnya dan mendoakannya agar Allah menerima disisinya.

My Absurd Ning [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang