Bagian 45

15.2K 1.6K 166
                                    

Bagian 45

•°•°•

Sarapan pagi ini terasa lebih hening, tidak ada yang berbicara sama sekali, bahkan Ronal yang biasanya menjahili Morana memilih fokus pada makanannya.

"Hari ini mau berangkat sama Papa?" tawar Ronal saat menyadari Morana sudah selesai dengan sarapannya.

"Moran bawa mobil sendiri aja, nanti mau sekalian mampir ke kafe,"

"Rain? Mau sendiri juga?" Ronal beralih pada keponakannya.

Rain menggeleng, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "Nggak usah, om, Catur udah di depan. Rain pamit duluan, ya?" Rain berpamitan dan segera berlalu dari sana.

"Bekalnya di makan, hati-hati bawa mobilnya," pesan Amira setelah menyimpan bekal putrinya di dalam tas sekolah.

"Moran berangkat," pamit Morana pelan.

Amira kembali duduk di kursinya, menatap Ronal yang masih menikmati kopi sambil membaca sesuatu di tabnya.

"Mas, tentang pembatalan kerja sama, gimana?" Amira bertanya tiba-tiba.

"Nggak bisa, sayang, itu bisa berdampak buruk bagi perusahaan, kita bisa rugi banyak, citra perusahaan juga akan rusak," jelas Ronal pelan.

"Mas, kamu mentingin kerugian, daripada putri sendiri?"

"Sayang, bukan gitu, ada banyak yang harus dipertimbangkan. Lagipula, kontrak kerja sama juga akan berakhir dalam beberapa bulan ke depan,"

Amira menghela napas, "Tapi janji jangan diperpanjang, Mami nggak akan pernah setuju," peringat Amira tegas.

"Iya," sahut Ronal, ia tidak berniat memperpanjang kontrak dengan pihak Danuarta, dan Ronal juga akan berhenti menjadi salah satu donatur di sekolah milik keluarga Gladis ketika Morana selesai sekolah nanti.

"Ya udah, aku berangkat," pamit Ronal.

"Hati-hati, mas, makan siangnya aku suruh antar supir, ya? Hari ini mau arisan, nggak papa, kan?"

"It's ok, asal pulangnya jangan telat," sahut Ronal mencium kening istrinya sebelum masuk ke dalam mobil.

•°•°•

Saat sampai di sekolah, Morana bisa melihat sosok Gladis yang baru juga tiba, seperti biasa selalu diantar supirnya.

Morana melirik sekilas lalu berjalan menuju kelasnya, ia sudah memantapkan tekadnya, untuk hidup sesuai dengan kenyamanan dirinya sendiri. Cukup kemarin dirinya dihina, dan Morana tidak ingin sampai kalimat mengerikan itu diarahkan untuk dirinya lagi.

Benar kata Ressa, Harga diri itu di kepala, sedangkan perasaan di kaki. Apapun keadaannya, harga diri harus tetap dijunjung setinggi mungkin.

Jam sekolah berlangsung seperti biasa, jam istirahat para murid akan memenuhi kantin dan berdesak-desakkan di sana untuk mengantri makanan.

Morana yang kebetulan ingin membeli minuman memilih membawa kotak bekalnya sekalian ke kantin, ia duduk bersama Rain dan menikmati makanannya.

MORANA DUVESSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang