Bagian 44

14.4K 1.6K 310
                                    

Bagian 44

•°•°•

Morana duduk diam, merasa bosan dengan kesehariannya. Pergi sekolah, pulang ke rumah, lalu mengunjungi kafe dan restoran, ia merasa bosan di rumah sebesar itu, seandainya masih ada Ressa, ia tidak akan merasa seperti ini. Rain sibuk keluar jalan-jalan bersama teman, terkadang akan menginap di rumah temannya, gadis itu sangat cepat akrab dengan orang baru.

"Na, Mami ke luar sebentar, nggak papa?"

"Mami lama?"

"Lumayan, mau arisan. Atau mau ikut aja?"

Morana menggeleng, "Moran di rumah aja," tolak Morana pelan.

"Ya udah, mau nitip nggak?"

"Pengen es krim sama cake aja,"

"Nanti Mami beliin, Mami berangkat, ya?"

"Hati-hati, Mi," pesan Morana, kembali duduk dalam keheningan.

Morana menghela napas panjang, merasa jika mobil Amira sudah jauh, ia segera mengemudikan mobilnya keluar dari area perumahan.

Morana nekat mengunjungi rumah Elang, ia butuh kepastian, agar ia bisa maju atau mundur.

"Non Moran," sapa satpam yang berjaga dengan ramah, terlihat akrab karena Morana beberapa berkunjung.

Morana tersenyum sopan, "Pak, kak Elang ada?" tanya Morana, berharap ia diizinkan masuk.

"Ada, non. Tapi nyonya besar nggak izinin siapapun berkunjung,"

"Pak, Moran cuma pengen ngobrol bentar sama kak Elang, ponselnya nggak aktif, temen-temennya juga nggak ada yang tau kak Elang kenapa," jelas Morana.

"Ponselnya rusak, non, dilempar sama nyonya besar," bisik satpam itu pelan.

"Makanya, Moran pengen bicara bentar, lima menit aja,"

"Aduh, kalau non Moran ke dalam, saya takut kenapa-napa,"

Morana terdiam sebentar, entah ia harus bagaimana lagi, Elang maupun Gladis sangat sulit untuk ditemui.

"Saya panggil dulu bentar, non," Morana mengangguk cepat, setidaknya satpam itu mau bekerja sama dengannya.

Morana menunggu di dalam mobilnya, berharap semuanya akan jelas hari ini.

Tak lama, satpam tadi datang dengan secarik kertas di tangannya.

"Bapak minta maaf, non. Den Elang nggak bisa ditemui," sesal satpam tadi, menyodorkan secarik kertas yang ia bawa pada Morana.

Morana menerimanya, "Nggak papa, pak, makasih udah bantu Moran," ujar Morana.

"Itu dari nyonya besar, saya permisi non," satpam kembali ke tempatnya berjaga, meninggalkan Morana yang masih terdiam menatap kertas di tangannya.

Morana menghela napas, menatap rumah megah di balik gerbang yang menjulang itu sekali lagi, "Kenapa susah banget, sih?" Gumam Morana pelan, mengusap matanya yang sedikit berair.

MORANA DUVESSA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang