"Kugantungkan segala harapanku pada sosok diatas sana"
-Unknown
| Until We Meet Again |"Selamat ulang tahun anak ayah! Teruslah menjadi anak baik dan tuhan selalu melindungimu."
Pagi hari yang biasa ia lalui berdua dengan umo kini bertambah dengan pemandangan punggung sang ayah yang sedang memasak membelakanginya.
"Bagaimana tidurmu tadi malam?" tanya ayahnya masih sibuk memotong daging ayam.
"Sangat nyenyak. Mungkin karena ayah ada disini." jawab Jeongin menggoda.
Ayah jeongin terkekeh ringan. Wangi masakan tercium oleh hidungnya. Asap mengepul diatas panci dengan kompor yang menyala. Jeongin meneguk air ludahnya tidak sabar memakan sarapan ayahnya.
"Nah, sarapan sudah siap! Ayo dimakan, sup ini sangat enak dimakan saat masih hangat. Pelan-pelan saja makanannya, tidak akan ada yang mengambilnya." kata ayahnya mengingatkan.
Pikirannya memutar kenangan lama saat ia masih berusia 8 tahun, ayahnya selalu, bahkan setiap hari mengingatkan hal yang sama. Dan dia sangat rindu dengan masa itu.
"Tenang saja ayah. Terima kasih untuk makanannya!"
Keduanya makan bersama dalam tenang sesekali mengobrol singkat. Awal yang baik untuk hari ulang tahun Jeongin. Cerahnya langit ikut mendukung suasana hatinya, oh tuhan rasanya jeongin bersyukur sekali hari itu.
"Potong dahan pohon itu. Jika tiba-tiba hujan deras, dahan itu akan jatuh dan dapat membahayakan dirimu."
Setelah sesi sarapan bersama. Jeongin dan ayahnya sibuk membersihkan halaman belakang. Jeongin memang memiliki beberapa jenis tanaman, namun ia tidak terlalu pandai mengurusnya.
Ayahnya ia anggap sebagai pahlawan tanpa jubah yang serba bertalenta. Ayahnya datang membantu mengingatkan, membersihkan, memperbaiki, bahkan mengganti atap yang bocor. Jeongin saja tidak menyadarinya.
Ayahnya adalah role modelnya.
Keduanya yang terlalu asik menghabiskan waktu bersama membuat hubungannya semakin dekat dan membaik. Namun jeongin melupakan sosok lain yang sejak tadi mengajaknya bermain, yaitu umo.
"Guk! Tuan, ayo bermain denganku."
Jeongin tersenyum dan mengelus puncak kepala umo. Ia melempar bola mainan milik umo sejauh mungkin kemudian pergi kembali menyusul ayahnya.
Umo berlari dengan cepat sembari membawa bolanya di mulut. Umo mengerang kecil. Menjatuhkan bola di mulutnya dan marah pada jeongin.
Jeongin jadi jarang bermain dengannya sejak kemarin. Ia cemburu. Ia tidak suka. Ia menggeram dalam menatap kedua sosok itu.
Tengah hari tiba. Jeongin meminta izin pergi ke depan komplek perumahannya untuk mengejar paman yang biasanya bertanggung jawab membawa sampah rumah.
Didalam rumah tersisa lah sosok ayah Jeongin dan umo. Umo menggeram rendah kearah ayah jeongin.
Ayah jeongin tidak terlalu mempedulikan umo. Ia juga menatap umo dengan tatapan yang.. sulit diartikan. Tatapan tegas, tatapan tajam, dan tidak begitu suka jika melihatnya.
"Ada apa? Apakah kamu lapar? Jangan jadi nakal karena jeongin tidak ada." ucap ayah Jeongin dengan datar.
"Grrr... ghh.. wough! Wough"
Umo menggonggong keras. Ayah jeongin memundurkan tubuhnya karena gonggongan umo yang sangat keras. Ia memilih pergi dari sana berkeliling didalam kamar Jeongin. Menyentuh setiap barang yang tertata rapi disana. Membawa setiap kertas, buku sekolah, bahkan hal-hal privasi sekalipun.
Umo semakin tidak suka melihatnya. Itu adalah milik tuannya. Tidak boleh ada yang menyentuhnya.
"Wough! Wough! Wough! Pergi! Jangan sentuh barang tuan!"
"Diamlah. Kubilang jangan nakal." perintah ayah Jeongin.
"Grrrhh!"
"Argh!!"
Umo dengan keras mengigit lengan ayah Jeongin. Beberapa tetes darah jatuh keatas lantai kamar jeongin. Ekor umo menegang dengan gigi yang digertakan. Meskipun ia masih sangat kecil untuk usianya namun kekuatannya tidak bisa diragukan.
"Ayah!!"
Jeongin berteriak khawatir dan segera meletakkan semua barang yang ia bawa diatas lantai. Dengan cepat berlari membawa ayahnya keluar dari kamar.
"Ayah! Ayo ke rumah sakit. Lukanya sangat besar." katanya panik.
Ayah jeongin terlihat menahan rasa perih pada lengannya. Tidak sanggup menjawab ucapan jeongin. Jeongin dengan cepat membopong tubuh ayahnya keluar rumah.
Sebelum pintu rumahnya tertutup rapat ia sempat menatap umo dengan penuh kecewa.
"Aku kecewa padamu."
| i'm sorry |
"Tuan marah padaku. Aku hanya ingin menjaganya. Ada yang menyentuh barang privasi tuanku. Aku saja tidak boleh menyentuhnya, tapi kenapa dia sentuh? Aku merasa bersalah sudah melukai orang lain. Aku masih bisa merasakan darahnya didalam gigiku."
"Maaf tuan.. "
"Nghh.."
Lengan ayahnya diperban cukup tebal namun kini ayahnya sudah bisa tersenyum kembali. Jantung jeongin rasanya ingin lepas dari tempatnya karena darah ayahnya terus menetes disepanjang perjalanan.
"Apakah sakit sekali ayah? Aku minta maaf karena umo melukai ayah. Aku..."
"Tidak apa jeong. Umo masih kecil, mungkin dia tidak suka jika ada orang lain datang ke rumah. Kamu perlu menegurnya dan mengajarinya agar tidak menyakiti orang lain lagi."
Jeongin semakin merasa bersalah. Ia mengelus lengan ayahnya yang tidak diperban.
Dokter yang menangani ayah jeongin sudah mengobati lukanya. Ia hanya perlu rajin mengganti perban. Sisanya baik-baik saja.
Kini jeongin merasakan kekecewaan. Tidak ada emosi didalamnya, hanya kecewa. Ia sudah kembali berdiri didepan pintu rumahnya. Ada keraguan saat akan membuka pintunya.
Tadi ayahnya memilih pulang sendirian ke rumah. Meminta jeongin untuk tidak mengantarnya karena akan ada yang menjemput ayahnya. Jeongin awalnya bersikeras menolak ayahnya, namun karena ayahnya mengusir dengan halus, maka ia menurut.
Cklek!
Derit pintu terbuka terdengar mengisi kesunyian rumah itu. Rumahnya gelap gulita karena sekarang langit sudah mulai menggelap. Dari ujung sana, setelah menyalakan lampu, jeongin dapat melihat umo duduk diam dengan tatapan sedih.
Umo menunduk enggan menatap tuannya. Jeongin hanya menghela nafas. Diam sesaat hingga ia berjalan mendekati umo.
Ia mengelus lembut puncak kepala umo.
"Jangan melukai orang lain. Aku tidak suka dengan umo yang itu. Aku kecewa umo melukai ayah." ucap jeongin pelan namun terselip nada penekanan juga.
"Nghh.. maaf tuan."
"Aku minta maaf juga karena aku tidak memperhatikanmu. Aku terlalu senang karena ayah ada disini." kata Jeongin menyadari kesalahannya.
Ekor umo perlahan terangkat dan bergoyang singkat. Ia menjilat-jilat tangan tuannya, kemudian menjilat wajahnya.
"Jangan terlalu berlebihan dalam menjagaku. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku baik-baik saja. Jika umo melukai orang lain lagi, aku akan membawamu pergi ke tempat penitipan hewan.."
"Aku tidak mau berpisah darimu tuan.. maaf.."
| Until We Meet Again |
"Setiap harapan tentunya dengan namamu didalamnya"
🦁
KAMU SEDANG MEMBACA
Until we meet again | Yang Jeongin [ √ ]
FanfictionKurasa kehidupanku adalah kehidupan yang paling membosankan diantara lautan manusia diluar sana. Aku menyukai diriku apa adanya, aku yang tidak memiliki banyak teman, dan aku yang sudah terbiasa dengan kesendirian ini. Namun tuhan mempertemukanku d...