Sebuah pertunjukan musik yang diselenggarakan di salah halaman sekolah masih terus membuat penonton yang hadir bersemangat. Padahal langit sudah makin gelap karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Gadis itu tampak gelisah. Dia menuruti permintaan temannya karena mengira kalau dia tidak akan pulang sampai semalam ini. Ketika dia melihat temannya berbaur dengan penonton lainnya, gadis itu memilih untuk berdiri agak jauh dari kerumunan.
"Kenapa nggak gabung?"
Kinan menoleh, melihat kehadiran Evan yang sedang berdiri di sebelahnya. Selain takut pulang terlalu malam, gadis itu juga merasa kesal dengan Jeni yang tidak memberi tahu dirinya kalau laki-laki itu juga datang ke pertunjukan musik ini.
"Lo sendiri ngapain di sini?" tanya Kinan, hanya melihatnya sekilas.
"Gue males ke sana. Dari sini juga kedengeran lagunya," jawab Evan. Sesekali kepala laki-laki itu bergerak mengikuti irama lagu.
"Jawaban gue juga sama."
"Dih, ngikutin."
Kinan memutar bola matanya malas, beralih melihat ponselnya. Gadis itu berdecak saat menyadari kalau waktu terus berjalan. Sebenarnya dia bisa saja berkata kepada Jeni kalau dia harus pulang lebih dulu. Temannya juga pasti akan mengerti.
"Lo mau pulang?" tanya Evan, tapi hanya dibalas anggukan oleh Kinan.
Evan beralih melihat ke arah seseorang yang sedang dilihat Kinan. Dia mengerti kalau Kinan sebenarnya sudah ingin pulang. Mungkin karena tidak betah, atau karena sesuatu yang lain.
"Ya udah. Gue anterin aja."
Kinan sontak menoleh. "Gue bukannya butuh dianterin sama lo. Gue bisa naik angkutan umum—"
"Angkutan umum jam segini? Nggak-nggak. Mending sama gue," ucap Evan, "aman."
"Aman dari mananya?"
"Ya aman. Gue temen lo, Kin," jelas Evan.
"Iya, tapi yang jadi masalahnya sekarang, gue mau bilang dulu ke Jeni," kata Kinan.
"Bilang tinggal bilang. Emang susah?"
"Ya gue nggak enak kalo cabut duluan."
Evan tertawa setelah mendengar jawaban Kinan. Laki-laki itu lantas berjalan masuk ke kerumunan untuk menghampiri Jeni. Kinan tidak sempat mencegah apa yang ingin dilakukan Evan, tapi ketika melihat laki-laki itu kembali bersama dengan Jeni di sebelahnya, Kinan hanya bisa tersenyum canggung.
"Ya ampun, Kin. Sorry-sorry. Gue sampe lupa kalo lo juga harus pulang—bakalan kena omel sama Om Fero, pasti," kata Jeni sambil menggaruk tengkuknya.
"Iya-iya. Santai, Jen. Lo juga keliatan enjoy banget. Gue seneng ngeliatnya, tapi emang gue harus pulang sekarang—naik angkutan umum aja, gapapa," balas Kinan.
"E-eh, kok angkutan umum, sih? Katanya lo mau nganterin dia, Van?" tanya Jeni seraya melihat ke arah Evan.
"E-emang gue yang nganterin, Jen," jawab Evan sambil melihat Kinan dengan bingung.
"Iya, Jen. Dia kan sekarang udah jadi ojek pribadi gue," ceplos Kinan.
Jeni hanya tersenyum setelah mendengarnya. "Ya udah. Pokoknya gue titip temen gue, Van. Pastiin dia sampe di rumah dengan selamat, ya. Awas aja, lo!" kata gadis itu dengan nada mengancam.
"Iya-iya. Aman," balas Evan.
***
Perjalanan ke rumah gadis itu terasa sangat lama entah karena apa. Sepertinya tidak ada hambatan yang terjadi sepanjang jalan yang mereka lewati. Namun, di satu sisi gadis itu tidak protes dan malah terlihat menikmati perjalanan mereka. Pemandangan gedung-gedung, lampu kota, dan langit cerah yang pada malam hari ini berbintang membuat hati gadis itu tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epanliebe (TAMAT)
Teen FictionBlurb . "Kisah tentang kita yang dulu dan kita yang sekarang." . Waktu telah mengubah perjalanan gadis itu menjadi sosok perempuan yang kuat dan penuh rasa tanggung jawab dengan pilihannya. Sudah tidak ada lagi dia yang dulu. Dia tidak akan luluh de...