BAB 16

26 4 15
                                    

Sekarang lapangan sekolah sudah dipenuhi oleh para murid yang pada pagi hari ini akan melakukan pelajaran olahraga. Guru mereka—Pak Heri—sudah memberi arahan bahwa murid laki-laki akan melakukan pengambilan nilai lari terlebih dahulu.

"Duh, mana kaki gue masih kaku gara-gara udah jarang olahraga."

"Curhat, lo?"

"Eet, nggak suka aja."

Semua murid laki-laki terlihat sudah selesai melakukan pemanasan di tengah lapangan. Berbeda dengan murid-murid perempuan yang hanya duduk di pinggir lapangan. Mereka tidak diperbolehkan pergi walaupun giliran mereka masih sekitar setengah jam lagi.

"Kalo pemandangannya bagus, gak pa-pa, ya Kin?" ucap Jeni sambil menyenggol kaki Kinan yang sedang duduk sambil melihat ke depan.

Kinan melihat temannya dengan kerutan di keningnya. "Jadi lo sepakat sama gue kalo pemandangan di depan kita nggak bagus? Tumben," tanya gadis itu.

"Ya kalo sekarang, emang pemandangannya biasa aja, Kin."

"Gue bikin jadi nggak biasa, Jen!"

Sebuah seruan berhasil membuat kedua gadis itu menoleh. Mereka melihat sosok Evan yang sekarang sedang tersenyum lebar. Tiba-tiba Evan mengedipkan sebelah matanya, sontak membuat Kinan melihatnya dengan bingung.

"Masih biasa aja, Van!"

Kinan menoleh ke arah Jeni yang justru menantang laki-laki itu. "Jen, lo ngapain, sih? Kalo si Evan aneh-aneh, gimana?" tanya Kinan.

"Ck. Biarin aja, Kin. Ntar dia juga yang kena, kita bakalan aman-aman aja," balas Jeni.

Pada saat Evan berusaha untuk menarik perhatian Kinan, laki-laki itu tidak sadar kalau Pak Heri sudah berdiri di belakangnya dan langsung menjewer telinga Evan. Namun, satu hal yang terjadi setelahnya justru membuat laki-laki itu tersenyum.

"Kamu ini mau ngambil nilai atau ngambil hati murid-murid perempuan, sih?!"

"A-ampun, Pak," kata Evan. Kejadian itu berhasil membuat semua murid yang ada di lapangan tertawa termasuk Kinan. "Kalo bisa dua-duanya kenapa harus milih satu, Pak?" lanjut laki-laki itu sambil tersenyum.

Pak Heri tampak geleng-geleng kepala setelah mendengar jawaban muridnya. "Sudah! Sekarang kamu bersiap," perintah Pak Heri, "Enda, Evan, Fahri, dan Firman!"

Kinan melihat ke arah keempat laki-laki yang sekarang sudah mengambil posisi start jongkok. Gadis itu masih tersenyum geli karena perbuatan Evan beberapa menit lalu. Dirinya benar-benar tidak mengerti dengan maksud Evan. Namun, jika dia berpikir kalau Evan hanya ingin membuatnya tersenyum ... memangnya apa yang akan laki-laki itu dapat? Rasa senang? Rasa lega?

Awalnya gue cuma mikirin cara ngehindar dari lo, Van. Biar kita nggak berantem dan gue nggak perlu teriak-teriak ke elo, batin Kinan sembari memegangi kepalanya.

Jeni yang sadar dengan hal itu, terlihat cemas dan segera bertanya, "L-lo kenapa, Kin?"

"Cape, gue."

"Cape? Kita aja belom lari. Kok lo udah cape aja, sih?" tanya Jeni bingung.

"Gue cape gara-gara temen lo," jawab Kinan sambil melihat temannya.

"Temen gue? Siapa, sih? Yang jelas ngomongnya."

Kinan mengembuskan napas berat, seraya menjawab, "Lagian pake nanya segala. Lo juga udah bisa nebak, kali."

"Evan? Emangnya lo diapain sama dia? Kok cape ...?"

"Eh!"

Jeni tertawa ketika melihat rona merah yang muncul dengan cepat di pipi Kinan. Gadis itu bahkan hanya bercanda dan tidak berpikir panjang ketika mengatakannya, tapi Kinan justru menunjukkan reaksi yang tidak terduga.

Epanliebe (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang