BAB 29

22 3 4
                                    

Satu-satunya tempat yang ingin sekali dikunjungi Kinan ketika berada di Jakarta, tentu saja adalah rumah sang ayah. Lebih tepatnya, tempat peristirahatan terakhir sang ayah. Kinan terduduk sembari menyentuh nisan bertuliskan nama Fero.

Di sebelahnya, Arfan ikut berjongkok sambil menyentuh pundak Kinan. "Kalo lo mau nangis, boleh kok," ucap adiknya, "tapi sekali aja, ya? Mungkin papa juga kangen denger tangis anak sulungnya."

Bukannya menangis, Kinan justru tertawa. Dia menyenggol lengan Arfan. "Apaan, sih. Nggak lucu, tau," kata Kinan.

"Nggak lucu, tapi ketawa."

Setelah candaan itu, keduanya berharap kalau Fero akan ikut tersenyum karena melihat kedua anaknya yang tidak terlihat sedih. Karena hanya dengan mendatangi tempat itu, mereka merasa lebih dekat dengan sang ayah.

"Kangen ya, Ar?"

Terlihat Arfan mengangguk, membuat Kinan bertanya, "Apa yang paling lo kangenin dari papa? Atau ... momen apa yang bikin lo selalu keinget sama papa?"

"Gue kangen main gitar bareng papa."

Kinan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Dia langsung teringat kalau kegiatan yang sangat disukai Fero dan Arfan adalah ketika mereka duduk di ruang keluarga dan mulai memainkan gitar masing-masing.

"Sekarang udah jago, lo," kata Kinan sambil meninju pelan bahu sang adik.

Arfan tersenyum bangga. "Gue malah sering disuruh ngisi acara pas pensi. Kayaknya ... gue lebih populer daripada elo, Kak," canda laki-laki itu.

"Modal tampang." Kinan mencubit pipi Arfan.

Setelah itu, mereka beranjak bangun. Kinan memandangi nisan Fero. Ingin sekali gadis itu melihat sosok sang ayah walaupun hanya sekali. Pa, sering-sering main ke mimpi aku, dong. Kan aku kangen, batin Kinan.

"Kak. Ayo," ucap Arfan sembari menepuk pundak Kinan.

"E-eh, iya."

Kinan dan Arfan kemudian berjalan menuju area parkir. Mereka sedikit bergegas saat menyadari langit yang mendung. "Semoga belom ujan pas kita otw ke rumah," kata Arfan yang terlihat sedikit mempercepat gerakannya memakai helm, begitu juga dengan Kinan.

"Ayo, Ar. Kayaknya masih keburu sampe di rumah sebelum ujan," lanjut Kinan yang sudah siap. Dia langsung menaiki jok belakang motor sang adik.

Ketika motor yang dikendarai Arfan keluar dari gerbang TPU, bersamaan dengan itu, sebuah mobil sedan berwarna putih masuk. Mobil itu berhenti. Sedetik kemudian pintu mobil terbuka dan menampilkan sosok pria.

Pria itu melihat ke belakang untuk memastikan. Namun, sayang dia tidak mendapatkan apa-apa karena motor beserta dua orang itu sudah pergi. "Apa mungkin aku salah liat?" tanya pria itu.

"Pak?"

Pria itu membalikkan tubuh saat melihat supir pribadinya ikut keluar. "Kamu langsung ke parkiran saja. Biar saya masuk sendiri," ucapnya.

"Baik, Pak."

***

Kinan dan Arfan akhirnya sampai di rumah sebelum hujan turun. Keduanya langsung masuk ke rumah ketika melihat pintu depan yang terbuka. Mereka langsung melihat Tiara yang tengah duduk di ruang keluarga bersama Maura.

"Ma ... kok pintu depannya dibiarin terbuka gitu, sih? Kalo ada orang jahat, gimana?" tanya Arfan sembari menyalami tangan Maura.

"Salamnya dulu, dong," kata Maura sambil mencubit hidung Arfan.

"Assalamualaikum, Ma," tambah Kinan, "tapi bener yang dibilang Arfan. Nggak boleh lengah gitu, Mama."

Maura tersenyum seraya mengangguk. "Iya, Sayang. Maaf-maaf. Tadi kayaknya Mama kelupaan," jawabnya.

Epanliebe (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang