Kinan benar-benar terlihat berbeda. Semalam dia belum berhasil mencari tahu tentang masalah di antara papanya dan ayah Evan sehingga saat berangkat ke sekolah, wajahnya tidak terlihat tenang. Gadis itu masih terbebani dengan banyak pertanyaan di kepalanya.
"Kin. Kamu bikin aku cemas, tau—kenapa nggak bilang kalo mau berangkat sendiri?" Tiba-tiba Evan sudah menghalangi langkahnya.
Gadis itu sedikit terkejut karena memang sebelumnya dia tidak fokus berjalan. Saat dia melihat Evan, Kinan seakan baru tersadar kalau dia lupa memberi kabar kepada laki-laki itu.
"M-maaf, Van. Tadi aku buru-buru. Jadi nggak sempet buka handphone," jawab Kinan.
"Buru-buru? Perasaan hari ini nggak ada tugas. Kamu buru-buru ngejar apa, sih?" Evan melihat Kinan dengan saksama, tapi seperti dugaan laki-laki itu, Kinan menghindar.
"Aku mau ke toilet dulu, Van."
"Sebentar, Kinan," kata Evan yang sudah memegang pergelangan tangan Kinan.
Gadis itu tidak bisa bergerak, tapi juga tidak berusaha melepaskan pegangan Evan. Dia sekarang sedang dilanda rasa bingung. Tidak tega rasanya melihat raut wajah Evan sekarang. Laki-laki itu juga butuh penjelasan dari Kinan.
Karena memang semua percakapan mereka kemarin hanya menyisakan tanda tanya di kepala masing-masing. Kinan menyentuh tangan Evan agar melepaskan pegangannya.
"Nanti kita ketemu di kelas, ya?" ucap gadis itu.
"Kin."
Setelah pegangan Evan terlepas, Kinan langsung melangkah ke arah kamar mandi yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Evan masih terdiam di tempat sambil melihat punggung Kinan yang mulai hilang setelah berbelok ke koridor lain.
Saat sudah berada di kamar mandi, Kinan bersyukur karena tidak ada orang lain di sana. Gadis itu langsung memasuki salah satu bilik dan menguncinya. Dia menyalakan keran untuk menandakan bahwa ada seseorang di sana.
Perlahan, Kinan menangis. Gadis itu masih terbayang wajah cemas yang ditunjukkan Evan saat mereka bertemu tadi. Laki-laki itu memang mencemaskannya, sangat. Karena Kinan yang dia lihat bukan seperti Kinan yang biasanya. Evan jelas mengetahui kalau ada yang tidak beres dengan gadis itu.
Kinan mencengkeram rok abu-abunya sambil menundukkan kepala. Gadis itu bingung sekali. Dia tidak tahu harus mengambil keputusan seperti apa. Karena sekarang hubungannya dengan Evan sudah dia jalani dengan serius. Kinan tidak main-main dengan perasaannya.
Maafin aku, Van ....
***
Evan sudah menempati kursi di kelas. Laki-laki itu terlihat tidak tenang sehingga kedua temannya tampak bingung. "Lo kenapa, Van? Kayak nungguin orang," tanya Enda.
"Ish. Pake nanya. Si Evan lagi nungguin Kinan, pasti," sambar Jeni, "eh? Kalian nggak berangkat barang?"
"Enggak. Kinan berangkat duluan, tadi."
Jeni dan Enda saling pandang. "Kalian nggak lagi berantem, kan?" tanya keduanya.
"Nggak, tapi Kinan," ucap Evan menggantung, "Kinan kayak nyembunyiin sesuatu dari gue—aaah! Kesel banget, gue!"
Jeni dan Enda terkejut karena melihat Evan yang tiba-tiba marah. Enda lantas menepuk pundak temannya. "Oy! Tenang-tenang. Kayak kenapa aja, Van. Mungkin si Kinan lagi PMS, makanya nggak mau diganggu dulu," sahut laki-laki itu.
Evan mengusap wajahnya. "Enggak, En. Biasanya nggak gini kok kalo lagi PMS," kata laki-laki itu. Kemudian dia memandang kedua temannya dengan wajah curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epanliebe (TAMAT)
Teen FictionBlurb . "Kisah tentang kita yang dulu dan kita yang sekarang." . Waktu telah mengubah perjalanan gadis itu menjadi sosok perempuan yang kuat dan penuh rasa tanggung jawab dengan pilihannya. Sudah tidak ada lagi dia yang dulu. Dia tidak akan luluh de...