BAB 30

94 5 6
                                    

"Lo cepet banget pulangnya, sih? Gue kan masih kangen, Kin," kata Jeni sambil terus memeluk tubuh temannya.

Sekarang mereka sudah berada di bandara. Kinan baru saja berpamitan dengan anggota keluarganya selang beberapa menit sebelum Jeni yang tiba-tiba menyusulnya ke bandara. Dia tidak datang sendiri, tapi juga bersama pacar dan temannya.

"Tau lo, Kin. Parah banget nggak ngabar-ngabarin kita," sahut Egi.

"Gue kira pacar lo udah ngomong. Kaco lo, Jen," balas Kinan.

Jeni menggaruk tengkuk seraya membalas, "Hehehe. Maaf, Kin. Gue takutnya mereka malah ngerusuhin rencana lo di Jakarta."

"Bener juga, sih."

"Dih, kaco," sambar Enda.

Kinan pun tertawa. "Tapi gue juga nggak tau kabar kalian, sih, awalnya."

"Itu mah, emang lonya aja yang nggak peduli," kata Egi sinis.

"Hm ... iya deh," kata Kinan sembari melihat jam di ponselnya, "gue kayaknya harus masuk sekarang, nih. Bisa masalah kalo sampe ditinggal sama pesawatnya."

"Hahaha, iya-iya," ucap Jeni.

"Masih mending, Kin, ditinggal pesawat," kata Enda menggantung, "daripada ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Adaw!"

"Duh, parah lo, En. Pake diungkit-ungkit segala," sahut Jeni.

"Ya abisan. Gue selain kangen sama Kinan. Kangen sama Evan juga, tau," lanjut Enda, "kita udah lama banget nggak tau kabar dia. Terakhir katanya kuliah di luar negeri, tapi kayak ada yang ngeganjel aja dan bikin gue nggak lega."

"Evan kuliah di luar negeri?" tanya Kinan.

"Katanya, ya ... itu juga gue taunya nggak langsung setelah kita lulus. Kayak beberapa bulan setelah itu dah. Lupa juga, gue," kata Enda.

Kinan terdiam sebentar sampai sentuhan di pundak oleh Jeni membuatnya tersadar. "L-lo gak pa-pa?" tanyanya.

"Ha? Gak pa-pa," jawab Kinan.

"Ya udah. Tadi katanya udah mau masuk," kata Egi mengingatkan.

"Ah iya! Ya udah, guys, sampe ketemu nanti, yaaa!" Kinan lantas bergegas masuk saat mendengar pemberitahuan tentang jadwal penerbangan yang akan dia naiki.

Ketiga temannya terus melambaikan tangan sampai akhirnya sosok Kinan sudah tidak terlihat lagi. Namun, setelah itu Jeni melihat Egi dan Enda dengan wajah bingung.

"Lo kok nggak pernah bilang kalo Evan kuliah di luar negeri? Mana taunya udah lama, lagi," tanya Jeni kepada Enda.

"E-eh? Masa gue belom ngomong, sih?" balas Enda, tapi gerak geriknya terlihat aneh. Dia sampai membuat Egi jadi ikut merasa bingung.

"Lo kenapa, sih?" Egi meninju pundak laki-laki itu.

"Awh! Kenapa dipukul, sih?" balas Enda.

"Ya abisan. Itu pacar gue lagi nanya serius," kata Egi, "tapi ya kenapa nggak gue kasih tau juga, ya?"

Enda memutar bola matanya malas. "Lagian kalian pake nanya. Tadi kan gue juga udah ngomong kalo gue masih ragu. Berbulan-bulan, tuh, gue ragu," jawabnya, "sampe sekarang."

"Maksudnya?" Jeni masih terlihat tidak mengerti.

"Evan nggak mungkin sejahat itu, Gi. Ya kali dia sama sekali nggak ngabarin kita? Ini bukan soal apa-apa, tapi kan kita udah jadi temennya lumayan lama," sambung Enda.

"Bener juga, sih," kata Egi, "tapi selain itu, gue ngerasa kalo keluarganya Evan berubah jadi tertutup. Bahkan gue juga jarang dapet informasi apa-apa. Padahal Om Randy kan biasanya suka muncul di berita-berita."

Epanliebe (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang