-07. Panggilan Khusus

1.9K 235 315
                                    

=07. Panggilan Khusus =

"Acara di sini sampe malem juga ya, Mas?"

Gus Shaka menoleh pada Khanza yang baru saja bertanya demikian. Ia bisa melihat dengan jelas gurat lelah di wajah sang istri.

"Cuma sampe sore, Ning. Malemnya tabligh akbar," jawab Gus Shaka, berharap jawabannya bisa sedikit menenangkan Khanza.

Gadis itu hanya mangut-mangut sebelum kemudian kembali menyalami para tamu undangan yang datang. Meski lelah, senyum ramahnya tidak luntur sejak tadi, hal tersebut membuat Gus Shaka turut mengulas senyum kemudian mengusap pelan bahu sang istri.

"Sabar ya, sebentar lagi," bisiknya yang hanya Khanza balas dengan anggukkan pelan.

Hingga pukul setengah lima sore, barulah Gus Shaka dan Khanza bisa meninggalkan bangku pelaminan. Khanza sendiri bergegas membersihkan make up di wajahnya juga mengganti pakaian agar bisa segera menunaikan shalat ashar. Seperti yang terjadi usai resepsi malam di Surabaya, Gus Shaka juga turut membantunya.

"Mas udah shalat, ya?"

"Udah kan tadi bareng yang lain di masjid."

"Ya udah, Khanza wudhu dulu ya, Mas." Khanza menyambar gamis yang terletak paling atas dalam kopernya sebelum kemudian berlari menuju kamar mandi.

"Pelan-pelan aja, Ning, takut keserimpet!" peringat Gus Shaka.

Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk Khanza berganti pakaian dan wudhu, gadis itu keluar dengan penampilan yang lebih fresh, segera memakai mukena dan menunaikan kewajibannya.

Gus Shaka masih setia menunggu sang istri sambil memainkan ponselnya di atas ranjang. Hingga beberapa menit kemudian, Khanza menyusul dan langsung masuk ke pelukannya, masih dengan mukena yang gadis itu kenakan.

"Capek banget?"

Khanza mengangguk lemah. "Mas, tolong ya, Khanza cuma mau nikah sekali seumur hidup, gak mau nikah-nikah lagi, capek," curhatnya yang lantas membuat Gus Shaka terkikik geli.

Belum satu minggu pernikahan mereka terjalin, tapi Gus Shaka bersyukur karena ia dan Khanza sudah mulai terbiasa satu sama lain. Meski agak sulit bahkan kecanggungan masih kerap menerpa, namun setidaknya mereka sudah cukup ber-adaptasi. Khanza bahkan sudah tidak segan memeluknya seperti sekarang, terlebih saat mereka sudah sepenuhnya saling memiliki satu sama lain.

"Ning."

"Hem?"

"Bisa bahasa Arab?"

"Lumayan. Kenapa?"

Gus Shaka menggelengkan kepalanya dengan seutas senyum tipis. Khanza yang melihat itu lantas menatap heran pada sang suami.

"Kenapa, Gus?" tanyanya penasaran.

"Kok Gus?" bukannya menjawab, Gus Shaka malah mengoreksi panggilan Khanza yang kembali ke setelan awal---sebelum mereka menikah.

"Gus-nya 'kan panggil Khanza Ning, ya udah Khanza manggilnya Gus," balas gadis itu enteng, meski terkandung makna sindiran di sana.

Menyadari hal tersebut, Gus Shaka kontan terkekeh. "Saya bingung mau panggil apa," akunya dengan senyum kikuk.

Pelengkap ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang