-08. Zaujati

2K 234 237
                                    

=08. Zaujati=

Khanza tidak tahu bahwa acara tabligh akbar yang diadakan untuk memeriahkan pernikahannya digelar semegah ini. Tidak tanggung-tanggung, Buya Sulaeman mengundang ulama terkenal dari Tarim yang bahkan Khanza baru bisa melihatnya dengan langsung pada malam hari ini.

Khanza duduk di jejeran paling depan bersama Umma Khadijah, Bunda Mima, Shafiya, dan Ning Amyla. Sedangkan, Kyai Rahman, Buya Sulaeman, dan abi-nya duduk di panggung bersama ulama besar yang telah diundang.

Lapangan luas yang harusnya bisa menampung lebih dari lima ribu orang ini tampak penuh dan sesak. Puncaknya saat pengajian usai, dilanjut dengan gema sholawat yang dipimpin oleh tim hadroh Taufiqul Iman.

Ini adalah kali kedua Khanza menyaksikan langsung penampilan suaminya sebagai vokalis Taufiqul Iman. Laki-laki itu tampak berwibawa dengan sarung hitam bermotif, kemeja putih, dan jas hitam serta kopiah senada yang melekat sempurna di tubuhnya. Harus Khanza akui, ia memiliki suami dengan visual yang nyaris sempurna. Pantas saja ada banyak kaum Hawa yang menggilai laki-laki itu.

"Sebentar." ucapan Gus Shaka berhasil menghentikan alunan rebana yang sejak tadi mengiringi sholawat. "Untuk para jama'ah di sebelah kiri panggung, mohon untuk memberi sedikit celah agar guru besar kita bisa lewat. Mohon untuk kerjasamanya, ya!" pengumuman dari putra kedua Buya Sulaeman itu agak menimbulkan sedikit kehebohan. Aparat keamanan dengan sigap membantu Guru Besar yang dimaksud menuju sebuah mobil. Kalau Khanza tidak salah dengar, beliau harus pulang lebih awal sebab besok pagi sekali harus segera kembali ke Tarim.

Setelahnya, gema sholawat kembali berlanjut. Namun, di pertengahan, Khanza merasa Gus Shaka tiba-tiba menatap ke arahnya, laki-laki itu melambaikan tangan yang membuat ia seketika mengerutkan dahi bingung.

"Mbak!" Shafiya menyenggol pelan lengan kakak iparnya tersebut. "Disuruh Mas Shaka naik, tuh!" beritahunya.

"Hah?"

Khanza masih terbengong-bengong bahkan ketika alunan sholawat dan tepukan rebana tidak lagi terdengar. Berganti dengan suara riuh yang tidak bisa Khanza dengar dengan jelas sesaat setelah Gus Shaka bertutur meminta istrinya untuk naik ke panggung.

"Sini, Nduk. Duduk samping Buya, sini!" kali ini Buya Sulaeman yang mengajak. "Ini loh, yang punya acara. Sini, Nduk, perkenalkan diri," lanjut ayah mertuanya Khanza tersebut.

Kalau sudah begini, berusaha menolak pun rasanya tidak sopan. Pada akhirnya, Khanza berjalan menaiki panggung kemudian duduk di antara Buya Sulaeman dan suaminya. Di bagian ini tadi ada sofa yang digunakan oleh guru besar mereka saat mengisi pengajian, namun sudah diturunkan. Jadilan Khanza memiliki space untuk bergabung.

Buya Sulaeman mengusap sayang puncak kepala menantunya yang tertutupi pashmina hitam tersebut. Hal itu membuat Khanza lebih rileks.

"Perkenalkan diri, Nduk." Khanza melaksanakan perintah Buya Sulaeman---melakukan perkenalan singkat dengan beberapa kalimat sapaan yang membuat sebagian jama'ah berdecak kagum hanya dengan melihat dan mendengar kelembutan istri dari Gus Shaka tersebut.

Setelah perkenalan tersebut, acara kembali berlanjut. Gus Shaka sudah kembali bersiap dengan mikrofon di tangan kirinya namun, tangan kanannya justru menggenggam lembut tangan Khanza. Pemandangan tersebut tentu saja mengundang riuh godaan dari para jama'ah yang gemas melihat keromantisan pengantin baru tersebut.

Khanza? Jangan ditanya, tentu saja dia masih belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Meski begitu, ia membiarkan saja tangannya digenggam sang suami. Berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja meski setelahnya tidak lagi, sebab syair yang dinyanyikan merdu oleh Gus Shaka kali berhasil mengobrak-abrik sesuatu dalam dirinya.

Pelengkap ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang