-09. Perempuan Luar Biasa

1.8K 237 155
                                    

=09. Perempuan Luar Biasa=

Rutinitas Khanza setelah menjadi istri dari seorang Shaka Malik Alfatih adalah, mengurus keperluan laki-laki itu dan menjadi teman ngobrol untuk Bunda Mima. Setidaknya, untuk saat ini hanya itu yang bisa dirinya lakukan. Khanza masih berada di tahap adaptasi dengan kehidupan barunya yang sekarang.

Pagi-pagi sekali, Khanza sudah sibuk menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya mengajar juga membantu Bunda Mima dan dua orang abdi ndalem yang memasak untuk sarapan.

Ini adalah hari pertama Gus Shaka kembali mengajar setelah ia sempat diberhentikan atas kebijakan Buya Sulaeman sebagai sanksi untuk kasusnya tempo lalu. Khanza juga baru tahu kalau ternyata, Buya Sulaeman memberikan dua pilihan kepada Gus Shaka sebagai sanksi tegas atas kelalainnya---menikah atau melanjutkan pendidikan di Mesir. Khanza mengetahuinya dari Bunda Mima yang setiap hari selalu memiliki waktu untuk berbincang berdua dengannya.

"Ning, teh madunya Mas, mana?" Gus Shaka tiba-tiba muncul di dapur dengan setelan mengajar yang sudah melekat rapih di tubuhnya.

Khanza menoleh, lekas ia mengambil teh madu yang sudah dipersiapkannya sejak beberapa menit lalu, kemudian memberikannya pada sang suami.

"Opo toh le, masa manggil istrinya masih Ning?" komentar Bunda Mima. Wanita itu heran kenapa putranya masih memberikan panggilan umum seperti itu untuk istrinya sendiri.

Gus Shaka nyengir, kemudian membalas dengan celetukan yang berhasil membuat Khanza melotot pada laki-laki itu. "Kalau di kamar panggilnya Sayang kok, Bun."

"Kenapa cuma di kamar? Di luar juga 'kan nda papa panggil kayak gitu, malah bagus. Yang pacaran aja gak malu sayang-sayangan di tempat umum, masa kalian yang suami istri malah malu. Mas-mu aja manggil 'Beb' itu sama Mbak Amyla." kalimat terakhir Bunda Mima berhasil membuat Gus Shaka bergidik pelan. Membayangkan panggilan seperti itu keluar dari bibirnya saja ia sudah geli, apalagi benar-benar menyuarakannya.

Khanza sendiri tampaknya mulai salah tingkah. Dari pada ia kena serangan Bunda Mima juga, akhirnya perempuan itu pamit dengan alasan ingin memeriksa cucian yang tadi pagi ia masukan ke mesin cuci.

Selepas kepergian istrinya, Gus Shaka memanggil bundanya yang baru selesai menata sarapan di meja makan. Dua abdi ndalem yang tadi membantu juga sudah pamit kembali ke asrama bersamaan dengan Khanza.

"Bunda."

"Opo?"

"Istrinya Shaka itu kalau lagi salting cantik banget, Bun. Pipinya merah, senyumnya manis, cantik banget pokoknya." Bunda Mima malah tersenyum geli sekaligus heran mendengar penuturan putranya.

"Terus?"

"Khanza itu kalau Shaka panggil 'Sayang' suka salting, makanya Shaka gak mau manggil kayak gitu di luar, nanti dia salting terus cantiknya diliat orang lain, Shaka gak ikhlas."

Bunda Mima sempat cengo atas pengakuan Gus Shaka, sebelum kemudian terkikik geli. "Disuruh pake cadar aja, Mas, biar cantiknya gak perlu dibagi-bagi."

Gus Shaka menggeleng cepat. "Duh, gak mempan, Bun, malah makin cantik." ia malah uring-uringan sendiri jadinya.

"Iya 'kan tapi tertutupi gitu loh, Mas."

"Apa Shaka suruh pake burdah aja ya, Bun?"

Kali ini Bunda Mima sukses dibuat terbahak. Duh, ia sekarang mempercayai perkataan menantunya beberapa hari lalu yang mengatakan kalau Gus Shaka tidak selempeng yang orang-orang kira. Bunda Mima bahkan tidak menyangka kalau putranya bisa se-ekspresif ini setelah menikah.

"Lagi bahas apa ini? Seru banget kayaknya." Buya Sulaeman datang bersama Khanza yang mengikutinya di belakang. Langsung mengambil posisi duduk di kursi kosong untuk bersiap sarapan.

Pelengkap ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang