-15. Deep Talk

446 56 166
                                    

=15. Deep Talk=

Sekembalinya dari Surabaya, Khanza mau pun Gus Shaka kembali menjalani hari-hari mereka seperti biasa. Hanya saja, keduanya sedikit lebih sibuk sebab terlibat dalam penerimaan santri-santri baru Al-Maerifa. Khanza yang memang tidak memiliki banyak kegiatan memutuskan untuk membantu Bunda Mima mengurus pendaftaran program pesantren kilat yang akan diadakan bulan depan.

Khanza dan Gus Shaka duduk berdampingan di ruangan sekretariat pesantren. Keduanya sibuk dengan tugas masing-masing, hingga Bunda Mima datang dengan selembar kertas berisi data calon santri yang yang mendaftar program pesantren kilat Al-Maerifa yang memang rutin diadakan tiap tahunnya selama tiga bulan.

"Liat ini, Mas!" Bunda Mima menyodorkan bawaannya pada Gus Shaka yang lekas disambut oleh pria itu.

Karena pensaran, Khanza mengintip. Tidak sampai lima detik, matanya membola mendapati biodata siapa yang sedang ia baca.

Gus Shaka sendiri mengernyitkan dahinya bingung. "Dia daftar pesantren kilat, Bun?" tanyanya memastikan.

Bunda Mima mengangguk. "Mau apa lagi sih, mantan kamu itu, Mas?" balasnya sambil geleng-geleng kepala tak habis pikir.

"Bukan mantan, Bunda."

Tak menanggapi, Bunda Mima kembali merebut kertas tersebut dari pegangan putranya. "Bunda gak tau mesti gimana. Tapi, kata Buya diterima aja dengan syarat dia gak boleh publish info apapun kalau dia mondok di sini. Kalau niatnya emang mau ngaji, pasti dia gak banyak tingkah."

Gus Shaka mengedigkan bahunya, tak mau ambil pusing. Tidak menyadari kalau tatapan penuh peringatan Bunda Mima mengarah padanya.

"Peringatan buat kamu sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ya, Mas. Hindari apapun yang akan menjerumuskan kamu pada kemaksiatan, sekali pun itu tanpa sengaja. Mas, kamu boleh mengatakan kalau kamu sudah bertaubat, tapi jangan lupa kalau godaan syaitan akan selalu menguji keimanan kamu selagi kamu masih hidup di dunia." setelah berkata demikian, Bunda Mima beranjak dari tempatnya, menyisakan Gus Shaka dan Khanza dalam keheningan.

Sadar akan keterdiaman suaminya, Khanza mengusap bahu pria lembut. "It's okay, Mas. Bunda cuma memperingatkan karena beliau perhatian sama Mas. Jangan terlalu dibuat beban ya," katanya menenangkan.

Gus Shaka tersenyum tipis dengan anggukkan singkat. Setelahnya, mereka kembali pada kesibukan masing-masing, berbicara bila memang ada yang perlu didiskusikan saja.

"Makan siang di luar yuk, Mas!" ajak Khanza sesaat setelah menutup laptop di hadapannya, begitu pun dengan Gus Shaka yang sudah merapihkan berkas-berkas yang tadi berserakan di meja.

"Mau makan apa, Ning?" tanya pria itu setelah meliriknya sekilas.

"Apa aja. Sambil jalan-jalan, Mas. Kan Mas gak ada jadwal ngajar lagi abis ini, Khanza juga gak ngapa-ngapain."

Gus Shaka mengangguk tanda setuju. "Kita ke cafe aja, mau? Mas 'kan belum sempet ajak kamu ke sana."

"Mau!" Khanza beseru antusias membuat sang suami terkekeh singkat sebelum kemudian mengelus lembut kepalanya.

"Tunggu di depan, Mas ambil mobil dulu di Ndalem." titah dari Gus Shaka diangguki Khanza tanpa basa-basi.

Setelah berkemas, keduanya melangkah bersamaan keluar dari ruang sekretariat pesantren sebelum kemudian berpisah untuk tujuan masing-masing---Gus Shaka mengambil mobil ke Ndalem sedangkan, Khanza menunggu di depan pintu masuk pesantren yang berhadapan dengan gerbang.

Tidak butuh waktu lama sampai Khanza mendapati mobil milik suaminya bergerak mendekat. Ia segera masuk saat kendaraan beroda empat itu berhenti di depannya.

Pelengkap ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang