21. Dumbfounded

70 5 0
                                    

"Heh ...."

Seutas tali tipis berdiri di tengahnya, sekeliling area tempatnya bertumpu sedikit cekung akibat meleleh. Pada ujungnya cahaya itu menyala, menari berlenggak-lenggok mengikuti arah embusan angin.

"... Cho ...."

Gerakannya luwes dan lentur, namun bagiku, pertunjukkan yang diperlihatkannya bagaikan kamuflase belaka yang mampu berubah dalam sekejap, membentuk keganasan liar yang dapat melahapku habis tak bersisa.

"... Las ... Nicholas!"

"Hah? Hah? ... Kenapa? Ada apa?"

"... Gapapa?" tanyanya dengan penuh kegelisahan. Dahinya kembali berkerut, lekukan-lekukan halus pada kulit di antara kedua alisnya timbul. Gestur yang selalu tanpa sadar dilakukannya kalau sedang memikirkan sesuatu.

Kualihkan wajah, darinya dan dari benda itu yang memancar terang di atas meja. "Ga. Gapapa," jawabku segera dengan napas yang terengah-engah.

Sebuah tiupan pelan tertangkap oleh indra pendengaranku dan aroma asap yang memuakkan hadir setelahnya. "Udah?" tanyanya lagi seraya menyingkirkan wadahnya ke meja kosong di sebelah. Sumbunya padam, menyisakan warna hitam menyedihkan padanya.

Duh! Aku betulan letoi dan super memalukan. Kenapa aku bisa takut pada sebuah lilin yang ukurannya terlalu mungil? Padahal ketinggiannya juga cuma sekitar lima sentimeter saja dan api yang ditawarkannya juga hanya memberikan sedikit kehangatan, sekedar untuk menjauhkan lalat-lalat jorok supaya tidak hinggap pada hidangan pesanan yang sebentar lagi akan tiba.

" ... Las. Nicholas! Gapapa? Malah bengong lagi!" protes Vanessa, tidak suka akan kelakuanku yang mengabaikannya.

Hanya sebuah anggukan pelan yang bisa kuperlihatkan padanya seraya meraih beberapa lembar tisu guna menyeka cairan keringat yang hadir pada permukaan kulit. Setelah kengerian itu lenyap, akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega dan menghirup udara segar.

"Apaan?!" bentakku kaget seraya mengelak. "Ah," koreksiku salah tingkah, baru sadar karena sentuhan halus pada leherku ternyata berasal dari tangannya.

"Galak bener! Nih, nih!"—ibu jari dan telunjuknya mengapit potongan kecil kertas dan menunjukkannya tepat di hadapan netraku—"Nempel tadi!"

Hadeuh. Kenapa aku ini? Mungkin benar yang dikatakannya, aku memang aneh. Sendiri yang kecut, tapi malah mencak-mencak gak karuan. Padahal ia sudah baik mau membersihkan penampilanku dari remahannya. Malu 'kan, kalau kelihatan banyak orang. Belum juga makan, tapi malah belepotan oleh kertas tisu. Hahhh ....

"Grilled ribeye?" tanya seorang pelayan wanita yang berdiri di sisi meja.

"Di sini!" jawab Vanessa berubah riang. Langsung saja kedua tangannya memegang erat pisau dan garpu, siap untuk mulai melakukan penyantapan.

"Duh! Asli deh, lo! Makan yang bener, dong!"

Kuraih selembar lagi dan kali ini kugunakan untuk menyeka sisi mulutnya yang ternodai oleh saus steak. Sedangkan perempuan kingkong ini tetap fokus mengunyah dan menikmati setiap gigitan daging medium-rare dengan raut yang terlalu berbinar.

Kenapa ia jauh berbeda dariku? Kami berdua sama-sama mengalami kecelakaan, sama-sama pingsan, sama-sama dirawat di rumah sakit juga setelahnya. Tapi ... Vanessa tetap ceria, tanpa beban, dan tidak ada kegelisahan. Sedangkan aku mengalami trauma bodoh dan malah menjadikanku cupu.

"Heh! ... Ampun, deh!"

Ada sesuatu yang janggal di sini. Bekas-bekas luka ini. Kehampaan yang terus menghantui. Dan mimpi itu. Yang bisa kusimpulkan berdasarkan semua kilasan yang muncul, sesuatu yang buruk terjadi jauh sebelum kecelakaan kemarin, dan kemungkinan besar, saat aku masih belia.

"Nicholas!"

"Hah?" Lagi, aku tersadar dari pikiran yang terlalu memusingkan karena panggilannya yang keras.

"Chicken cordon bleu?" ujar pelayan yang sama seraya tersenyum, sudah berdiri di sampingku namun tidak juga berhasil meletakkan piringnya karena sebelah lenganku menghalanginya, tidak berpindah tempat dari sejak aku mengusap wajah Vanessa.

Aku mengangguk, mempersilakan untuk melakukan pekerjaannya. Ia pun beranjak pergi setelahnya, kembali ke area dapur tempatnya bertugas.

Okay, aromanya memang wangi—rosemary dan merica, juga bebauan asap yang memikat selera. Belum lagi ukuran dagingnya yang raksasa juga isian keju yang meleleh sempurna. Tapi saat ini, aku tidak tergoda sama sekali.

"Kenapa sih, lo?! Aneh banget!"

Diam! Aku sendiri pun sadar kalau aku aneh. Jadi tidak perlu terlalu blak-blakan begitu! ... Ah! Betul juga!

"Lo bilang kita dijodohin, 'kan? Sama keluarga kita berdua?" tanyaku memastikan, mengulang kembali penjelasannya dulu.

Vanessa mengangguk sambil melahap potongan daging lagi ke dalam mulutnya. "Kenapa?"

"Berarti,"—jemariku bergerak seraya berhitung—"Oma, Oma Rossa, papa-ma—euh ... papa lo—"

"Keliatan banget, yah?" selanya dan segera menundukkan kepala. Perasaan tidak enak tampak jelas dari rautnya.

Tentu aku mengabaikan pertanyaannya karena jawabannya seratus persen tepat. Kebencian yang ditunjukkan ibunya bahkan berkoar-koar kencang, mengudara ke sekitar hingga berubah pekat. Masa aku bilang 'iya, mamamu mengerikan!' Tidak mungkin, 'kan? Apalagi ia sudah menjadi mertuaku sekarang.

"Memangnya keluarga kita sedekat itu, yah?"

Vanessa sekali lagi mengangguk. "Papa bilang, Adiputera dan Notonegoro udah kayak keluarga. Katanya, opa kita berdua udah temenan akrab dari sejak mereka kecil. Ke sekolah bareng, kuliah sama-sama, bahkan jadi mitra juga. Keluarga lo kontraktor, keluarga gue penyedia bahan bangunan dan alat berat. Saling membutuhkan, makanya perusahaan bisa jadi maju dan sebesar sekarang."

"Terus ...."

Okay. Saatnya menyuarakan pertanyaan yang sama yang sebelumnya pernah kuajukan ke Siti, yang mana ia malah kebingungan dibuatnya.

"Perjodohan ini ... apa papa-mama gue ikutan juga?"

Euh. Gesturnya malah sama seperti si Kuntilanak—tidak bersuara, kedua mata terbelalak, dan mulutnya menganga besar bahkan aku sampai bisa melihat hasil kunyahan giginya yang belum sempat ditelan. Ew! ... Tunggu, tunggu.

"Jangan bilang ... lo juga ga pernah ketemu mereka?!"

Vanessa menelan seluruh isi mulutnya sebelum akhirnya mengangguk mengiakan. Loh? Ini bagaimana sih ceritanya?!

"Kata lo tadi, keluarga kita deket banget!"

Kedua telapaknya menggebrak meja hingga piringnya sedikit melompat dan menimbulkan bunyi dentingan keras ketika kembali mendarat. Hiii! Tenaga babon macam apa itu? Untung saja restorannya sepi, tidak ada siapa-siapa, hanya kami berdua pengunjungnya. Lucu 'kan, kalau jadi viral?

"Kok lo malah marah ke gue, sih?! Yang harusnya marah itu gue, dong! Gue korbannya! Ga kenal, bahkan cuma sekali ngobrol! Tau-tau, apa?! Dijodohin?! Married?!" Kalimat bentakannya keluar bertubi-tubi, melampiaskan semuanya sekaligus. Bahkan dengan beraninya ia mencubit keras pipiku. Aw!

Hah? Apa tadi?

Kutepis tangannya supaya siksaannya lepas. " 'Ga kenal'? 'Cuma sekali ngobrol'? Maksudnya ... waktu gue anter lo pulang itu? Waktu lo pikir gue tukang palak?"

"Ya, itu! Dua bulan lalu!" jawabnya kesal seraya melahap potongan besar steak.

"DUA BULAN?!" Bahkan aku bangkit berdiri dibuatnya.

"Makanya kita berdua ga setuju, 'kan?! Terus, lo sih pake lupa segala! Jadi gini kan, akibatnya?!" balasnya dan mendengus kesal.

Aku kembali mendarat di atas kursi, tanpa tenaga dan seluruhnya lemas. "Dua bulan." Aku mengulang kembali perkataannya dengan nada datar. "Terus sekarang ... suami-istri?"

"Katanya sih, mereka udah ngerencanain semuanya jauh-jauh hari," tambahnya menerangkan seraya membuang napas.

Okay, sekarang aku betulan pusing. Bukan hanya disebabkan oleh penjelasannya yang betul-betul membuat syok, tapi perutku yang kosong pun turut memberikan dampak buruk. Kenapa lagi kalau bukan karena cewek kingkong ini yang malah menghabiskan seluruh makan siangku. Ugh!

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang