12. Threat

98 14 0
                                    

Setelah berhari-hari terkurung mendengarkan ocehan Oma yang super panjang dan membosankan, akhirnya malam ini aku berhasil diam-diam kabur keluar rumah. Dibantu oleh Siti, jelas. Tidak cuma-cuma karena ia minta uang sogokan sebelumnya. Buat jajan, katanya. Huh!

Lupakan peristiwa masa lalu karena Oma terus membicarakan rencana pernikahan, tugas seorang kepala keluarga, dan tanggung jawab mendidik anak. Bayangkan. Masa ia langsung meminta cucu? Yang benar saja!

Ingin supaya aku mendapatkan keturunan segera? Jangan harap, Oma. Mungkin aku bakal dihajar cewek itu bahkan sebelum bisa menyentuh tangannya sekali pun. Mengerikan.

Kutemukan sebuah café di dekat rumah yang tidak terlalu penuh oleh pengunjung. Pesananku jatuh pada segelas kopi hangat agar dapat menghilangkan rasa kantuk, menolak untuk tidur dan terbangun kian dekat ke hari pernikahan dengan perempuan kasar itu.

Enggan untuk menempati kursi di dalam ruangan yang sumpek dan tertutup, kuputuskan untuk duduk di luar dengan pancaran sinar rembulan yang setia menemani di bawah langit gelap.

Sebungkus rokok dari saku celana juga kuletakkan di atas meja. Melihat dari jumlahnya yang memenuhi area dalam laci meja, sepertinya aku merupakan penikmat yang masuk ke dalam kategori parah. Mungkin sudah ke arah kecanduan.

Kunyalakan pemantik di tangan kanan dan panas api segera menyala di ujungnya. Gerakannya luwes, menari-nari di hadapan kedua netra mengikuti tiupan angin malam.

Semakin lama kuamati, semakin aku merasa risih dibuatnya. Entah kenapa kecemasan seketika saja menyerang dan irama jantungku berdebar lebih keras. Kudorong tutupnya dengan cepat dan kobarannya pun musnah. Puntung rokok kuhempaskan dengan kasar disertai emosi yang membara.

Kupejamkan kedua mata dan kutarik napas dalam. Selama beberapa menit lamanya aku mencoba meredam amarah yang masih juga bergejolak. Kenapa aku marah? Alasannya bukan karena kecewa ketika asap nikotin yang kuharapkan masuk dengan terpaksa malam ini tidak bisa kuhisap. Tapi lebih kepada kenapa aku menjadi penakut begini hanya ketika dihadapkan oleh nyala api kecil? Memalukan.

Kuteguk cairan gelap dari dalam mug, rasa pahitnya mengerutkan dahi namun sedikit dapat melupakan kegelisahan yang mendadak muncul. Ingat kebencianku pada rasa manis? Sehingga kopi pesananku tanpa gula, namun dicampurkan susu—low fat, jelas—juga ditambahkan beberapa tetes sirup cokelat ke dalamnya.

Pandanganku tertuju pada pemandangan area parkir di depan sana, membentang luas bahkan tidak tampak di mana ujungnya berada. Kendaraan beroda empat memenuhi setiap petak yang tersedia, sebagian besarnya didominasi oleh warna putih yang sedang ngetren diaplikasikan sebagai cat eksterior mobil.

Lampu taman hadir di beberapa titik, menyajikan penerangan di setiap sudut. Biasan terangnya memikat para serangga untuk mengepakkan sayap di sekelilingnya. Mungkin karena musim hujan, di rumah pun beberapa berhasil masuk beterbangan di dekat lampu ruang tengah. Akibatnya, beberapa kali teriakan Oma membahana keras dan mengganggu keheningan malam.

Sebuah suara seketika menarik perhatian dan aku menoleh ke arahnya berasal. Pertengkaran sepasang kekasih tengah terjadi dengan heboh, kedua wajahnya buram dan tidak terlihat jelas karena minimnya penerangan di sana, namun yang perempuan terus saja menunjuk kasar dan tanpa henti makiannya keluar.

Hahhh .... Apakah seperti itu kehidupan pernikahanku dengannya nanti?

Plak!

Ouch! Wanitanya menampar pria di hadapannya dengan murka. Suara yang dihasilkannya terlalu keras, terngiang jelas dan berulang-ulang di dalam telinga.

Kuraba pipi seraya mengingat kembali tonjokannya dan rasa sakit yang ditinggalkan berhari-hari setelahnya. Ugh! Selamat tinggal Nicholas. Kamu akan segera menjadi budak kingkong. Hahhh ....

Tepat setelah yang perempuannya pergi diiringi pijakan sepatu heels yang keras—pastinya lelakinya ikut, mengejar di belakangnya dengan menyedihkan—sebuah city car mini berwarna silver berusaha mengisi area parkir yang kosong. Selama beberapa menit lamanya, pengendara di dalamnya terus saja memaju-mundurkan kendaraan sambil sesekali menginjak rem secara mendadak.

Kurang ke kiri, Bu. Ya, ya, pelan-pelan ... ya, ampun! Hampir membentur mobil di sebelahnya! Maju sedikit, Bu. Ya, terus, terus, setir ke kanan sedikit—kanan, Bu! Bukan kiri! Aduh! Cukup, cukup! Stop! Akhirnya mobilnya berhenti tepat di antara dua garis putih setelah lebih dari sepuluh menit lamanya.

Pintu pengemudi terbuka dan ... apa?! Kedua bola mataku terbelalak menatap seorang pria bertubuh besar melangkah turun. Okay, memang tidak seharusnya aku langsung menuduh kalau di dalamnya pasti seorang ibu-ibu. Tapi entahlah, otakku langsung berpikir kalau kemampuan menyetir wanita pasti di bawah pria. Kepada semua perempuan di luar sana, tolong jangan dimasukkan ke dalam hati. Aku tidak mau kena hujat!

Euh ... akibat cekikikanku yang keluar dengan tidak sopan dan pastinya cukup keras, pria tersebut menoleh dan sepenuhnya menghadap ke arahku. Yang kulakukan? Jelas menghentikan tawa dengan cepat. Coba bandingkan ukuran tubuhnya denganku. Aku kalah telak!

Parasnya yang semula kemerahan karena malu dalam sekejap berubah menjadi amarah membara. Segera ia meninggalkan posisinya semula berada dan berlari dengan cepat ke arahku. Oh, tidak.

Tubuhku bangkit berdiri untuk meminta maaf apabila tingkahku yang kekanak-kanakan telah menyinggung perasaannya. Jelas ia merasa terejek karena tanpa hadirnya basa-basi sedikit pun lelaki itu segera menarik kerah bajuku dengan kasar.

​"MASIH BERANI LO MUNCUL DI HADAPAN GUE?!" gertaknya galak.

Habis bagaimana? Kopi baru sekali kuteguk dan sisanya jelas masih banyak. Mubazir dong, membuangnya begitu saja. Ditambah saat ini waktu baru menunjukkan pukul sembilan dan biasanya Oma masih setia duduk menonton acara televisi. Malas betul aku kembali mendengar ceramahnya.

​"Tenang, tenang. Gue minta maaf atas ketidaksopanan barusan," ucapku tulus sambil mengangkat kedua tangan, berusaha menghindari perkelahian.

Sudah terlalu banyak kesulitan yang menimpa diriku. Dimulai dari amnesia, perjodohan, dan sekarang pernikahan. Pastinya aku tidak mau beban kehidupanku bertambah hanya karena masalah sepele saat ini dengannya, pria asing yang tidak kukenal.

Bug!

Okay. Bukan 'sepele' sepertinya. Bogeman mentahnya langsung mendarat di wajah, posisinya juga tepat di area yang mana Vanessa pernah menonjokku sebelumnya. Aw! Tubuhku pun tumbang dan pipiku berdenyut sakit.

Apa-apaan dia? Ringan tangan betul! Makanya kalau tidak mau diejek, perbaiki kemampuan menyetirmu sekarang juga!

​"Santai! Cuma karena lo ga bisa parkir, lo lampiasin kekesalan lo ke gue?!"

Aku bangkit berdiri setelah melayangkan sindiran keras padanya. Kutepuk-tepuk kasar kemejaku seraya berdecih akibat kumpulan debu yang mengotorinya.

"LO PIKIR MASALAH INI SE-SIMPLE ITU, HAH?!"

Emosi yang sudah berhasil kureda sebelumnya serentak bangkit kembali. Kali ini aku tidak yakin dapat meredamnya sekali lagi.

"LEPAS!" tantangku dan melepas cengkeramannya yang sekali lagi berlabuh pada kerah. Entah muncul tenaga dari mana, tapi aku berhasil mendorong tubuhnya hingga jatuh tersungkur. Mampus!

Oh, tidak. Malu sekali rasanya sekarang karena kami berdua malah menjadi tontonan publik. Orang-orang berkerumun, berkumpul berkeliling membentuk lingkaran, beberapa bahkan mengeluarkan ponsel dan sibuk merekam pertengkaran yang cukup membahana. Euh, cukup, cukup. Tolong jangan buat diriku viral.

"Inget, Nicholas!" bentaknya setelah sebelumnya terbelalak, kaget akan kekuatanku yang mampu mengakibatkan tubuh besarnya terguling. "Masih lo deketin Vanessa, tanggung akibatnya! Gue bisa lakuin hal yang lebih kejam daripada kemaren!" ancamnya dan berjalan pergi.

Aku tidak beranjak, tetap berdiri mematung berusaha menelaah ucapannya.

Dia tahu namaku? Juga kenal dengan Vanessa.

Ada sesuatu di balik kecelakaan kemarin.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang