15. Newlyweds

102 6 0
                                    

Din!!!

Gah! Di mana, di mana? Di mana aku?

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, mengamati di mana posisiku berada. Pandanganku segera berlabuh padanya yang duduk di sebelahku—muka bengong, tatapan mata lurus ke depan namun tampak kosong, dan jangan lupakan mulutnya yang menganga besar. Semuanya itu dilengkapi dengan baju pengantin yang masih setia melekat di tubuhnya, ukurannya sangat besar dan lebar bahkan sampai memenuhi seluruh kursi penumpang. FYI, kedua pahaku pun ditindih oleh kainnya.

"Woi!" Kusenggol keras lengannya dengan siku, berupaya mengembalikan arwahnya yang melayang-layang hendak lepas dari tubuhnya.

"Hah?"

"Lo sadar ga, sih?! Ga mungkin kita naek pesawat kayak gini!" Tentunya aku pun sama, masih mengenakan jas dan berdasi, sepasang dengannya.

"Gimana, dong?! Gimana, nih?" tanya Vanessa kebingungan. "Ah! Bukannya mereka bilang udah siapin koper di bagasi?"

"Pak Udin! Berenti sekarang!" perintahku segera, mengakibatkan riang siulannya lenyap. "Ngapain lo?" tanyaku risih melihatnya hendak ikut turun setelah Pak Udin meminggirkan mobil ke sisi jalan tol.

"Diem lo! Berisik! Gue harus liat baju kayak apa yang mereka bawain!"

Gah! Terserah, lah! Padahal penampakannya mengundang tatapan banyak pengendara yang lewat. Kenapa lagi kalau bukan karena kelakuannya yang seperti menggendong berpuluh-puluh bayi, kala kedua tangannya kesulitan mengangkat tebalnya kain yang menjulur panjang.

Benar sesuai ucapan Om—euh ... Pa-Papa, dua buah koper ukuran medium sudah berada di dalam bagasi. Tanpa perlu menunggu lagi, kami berdua bergegas membukanya dengan gerakan tangan secepat kilat.

"Ew, ew!" pekiknya jijik. "Heh! Ketuker—geh!"

Dan pekikannya yang kedua, yang jauh lebih keras daripada yang pertama, sekali lagi keluar ketika netranya menatapku tengah menjepit di kedua sisinya dengan ibu jari dan telunjuk, miliknya yang sepertinya baru pertama kali dilihatnya, berenda dan berwarna merah delima—thongs see through, alias transparan. Yang lebih gilanya lagi, celana dalamku yang saat ini sudah tergeletak menyedihkan di atas tanah akibat dilemparnya asal, seirama dengan miliknya—briefs warna serupa dan sama-sama tembus pandang, yaitu di area tengahnya.

Tidak ada baju, juga tanpa celana. Hanya pakaian dalam yang motifnya terlalu ekstrim. Ya ampun! Sebegitu maksanya ingin segera memiliki cucu?!

"Den, Non! Malu, diliatin orang-orang, tuh! Ayo, masuk!"

Akibat ulah kami, alur bebas hambatan saat ini sedikit macet karena munculnya antrian panjang yang memelankan laju kendaraan demi menonton acara live gratis.

​"Kita harus gimana?" tanyanya bingung sekembalinya kami ke dalam mobil.

​"Kita ga usah pergi, gimana?"

​"Ga bisa, Den. Oma sudah titip pesan, bagaimana pun caranya, Den Nicholas dan Non Vanessa harus berangkat," jawab Pak Udin menolak seraya melanjutkan perjalanan. Pijakan gasnya pun sepertinya semakin dalam karena bunyinya yang kian berderu kencang.

Ugh! Ada tangan kanan Oma di sini.

"Seengganya kasih kita waktu buat beli baju!"

Pak Udin terdiam sejenak sebelum akhirnya menggeleng. Dari posisiku yang duduk menyilang di belakangnya, tampak jakunnya naik dan kembali turun, sepertinya menelan ludah, kaget akan intonasi kasar dari ucapan Vanessa.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang