23. Reason

62 5 0
                                    

"Jangan dipegang!" larang Vanessa cepat ketika aku hendak merabanya sambil menatap pantulannya di kaca spion. "Tangan lo kotor banget itu! Entar infeksi! Tunggu!" perintahnya galak dan segera menyerahkan dua lembar tisu basah kepadaku guna membersihkan sisa-sisa tanah yang melekat pada kulitnya.

Dibukanya lebar pintu seraya mengeluarkan saputangan dari saku celananya. Air putih dari dalam botol minumnya sengaja dialirkannya keluar untuk membasahi kainnya yang berwarna putih polos tanpa corak.

Ia kembali berpaling kepadaku dan mengarahkan wajahku supaya berada tepat di hadapan mukanya. "Memar gini," ucapnya sambil sedikit mengernyit, seperti ikut merasakan perihnya.

Aneh.

Gerakan tangannya yang menghasilkan berulang-ulang gesekan, mencoba untuk menghapus noda darah yang telah mengering sempurna. Aneh.

Tekukan-tekukan halus yang timbul di antara kedua alisnya, gelisah ekstrem padahal hanya berupa luka kecil yang sebentar juga bakal sembuh. Aneh.

Ia memperlakukanku seperti sebuah boneka yang pada salah satu areanya hadir sebuah robekan baru karena tidak sengaja dijatuhkannya, padahal kondisinya semula pun sudah cacat, rusak parah di mana-mana. Bukan, bukan kekhawatiran. Penolakan yang pernah diperlihatkannya, rautnya yang betul-betul tidak suka akan pernikahan keparat ini, sikapnya sekarang bukan berupa kecemasan. Tapi ... entahlah. Kalau kuamati, gerak-gerik yang ditunjukkannya lebih mirip seperti ... perasaan bersalah.

"Duh! Gue ga bawa obat antiseptik lagi!" ucapnya sambil mengaduk-aduk isi tasnya. "Sementara pake ini dulu aja, yah."

Kuraih pergelangannya, menahannya yang berniat untuk merekatkan plester di atas lukaku. "Benny?" tanyaku segera.

Kedua bola matanya tidak bergerak, terus diarahkannya kepadaku. "... Dia kakak kelas gue."

"ARGH!" geramku frustasi dan memukul keras setir kemudi karena jengkel. Jeritan klakson yang mendadak timbul membuatnya kaget dan tubuhnya sedikit melompat terkejut.

Padahal sengaja aku memberhentikan mobil di sisi jalan, tepat di bawah rindangnya pepohonan yang sanggup menghalau terik matahari. Seharusnya saat ini sejuk, namun jawabannya yang sekali lagi singkat berusaha keras menutupi sesuatu membuatku gerah oleh amarah.

"... Ada lagi?"

Tidak pernah cewek ini seperti sekarang, tidak bergeming dan gelisah kaku. Ocehannya yang biasanya selalu terdengar, membalas ucapanku dengan kasar dan blak-blakan. Namun sekarang, lagaknya ganjil.

Kuembuskan napas, mulai mundur untuk menyandar dan menutup kedua mata. "Bukan cuma Oma ... tapi lo juga." Ya, semuanya sama. Semuanya menyebalkan. Tidak ada seorang pun yang bisa kupercaya.

Selama beberapa detik lamanya Vanessa tetap membisu. Suasana di dalamnya menjadi begitu canggung dan udaranya berubah berat, tidak mengenakkan. Bahkan aku sendiri pun ingin secepatnya lari dari sini.

"Pinter, sombong. ... Ambisius, ga pernah mau kalah." Penjelasannya mengakibatkan kedua kelopakku serentak terbuka dan posisiku kembali duduk tegak.

Kedua mata Vanessa tertutup rapat, embusan angin yang masuk dari seluruh jendelanya yang terbuka juga pintunya yang masih menganga lebar, menggerakkan helaian rambutnya yang dibiarkan tergerai. Kerutan itu muncul kembali di dahinya ketika kegelisahan serta ketakutan sekali lagi dirasakannya.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang