40. Depressed

120 3 0
                                    

"Hei, kamu," panggilnya seraya menepuk pundakku. "Itu diajak ngobrol, diem aja."

"Hah?"

"Itu," ulang perempuan ini yang masih mengenakan piama daster corak bunga seraya menunjuk ke sebelah kiriku yang mana ... kosong.

"... Euh—"

"Iya. Dia penghuni baru di sini—eh! Jangan keras-keras! Nanti kedengeran! Malu, dong!" selanya menggunakan nada centil, masih juga berbicara dengan makhluk tak kasat mata di sebelahku.

Mengerikan! Coba tolong jangan mengajakku bicara. Bulu kudukku berdiri semua 'kan jadinya!

Kuembuskan napas dan kembali menatap langit di atas sana. Sedikit mendung dan cukup berawan, sama situasinya seperti saat itu, saat kengerian itu terulang lagi dan seluruh masa laluku kembali semuanya, dari awal sampai akhir, tidak ada yang terlewatkan sedikit pun.

Kututup kedua mata ketika tiupan angin menerpa wajah. Tanpa diundang, rautnya muncul begitu saja dalam benak. Begitu jelas, begitu ... menyakitkan.

Ketika sosoknya yang polos seharusnya masih terlelap pulas di balik selimut tebal, namun pagi itu ia malah muncul di sana. Ketika erangannya yang lembut sedikit keluar saat aku mengecup dahinya, namun wajahnya mengeras kala menemukanku di sana. Ketika desahan penuh kenikmatan muncul saat aku menodai setiap inci tubuhnya, namun tatapannya berubah ketakutan saat melihatku yang berlumuran darahnya. Darah Adam. Darah Papa.


"Maaf."


Hanya satu kata itu yang kubisikkan padanya sebelum aku pergi. Kala trauma masa lalu menyerang, aku malah memanfaatkan tubuhnya sebagai bentuk pelampiasan. Kala kilasan mengerikan kembali muncul, aku malah merebut mahkota kesuciannya. Kala keputusannya untuk berada di sisiku meninggalkan semua masa lalu, aku malah membangkang dari keinginannya dan memilih kembali ke sana, ke tempat di mana semuanya berawal.

Kubuka kelopak dengan cepat, berharap wajahnya bisa segera musnah. Tapi aku salah. Ketika kedua mataku terbuka lebar pun aku tetap melihat parasnya. Kengerian yang muncul dari pancaran bola matanya. Perasaan horor yang timbul dari rautnya yang membeku.

Bahkan saat itu ia tidak memanggil namaku. Ketika lebih dari lima mobil polisi dengan bunyi sirenenya yang keras telah menungguku di sana. Ketika kerumunan orang memenuhi jalanan dan menunjuk ke arahku yang akhirnya berjalan keluar dari dalam reruntuhan. Padahal biasanya ia selalu memanggil namaku ketika sesuatu yang aneh terjadi, ketika sesuatu yang tidak normal terjadi. Tapi saat itu, mulutnya tetap tertutup rapat.

"Siapa?"

Akhirnya satu kata itu yang kusampaikan padanya. Satu pertanyaan penuh kebohongan yang kuutarakan padanya. Berpura-pura tidak mengenalnya, berpura-pura sekali lagi amnesia.

Aku harus mengakhirinya. Aku harus segera menyudahinya. Sebelum aku semakin membuatnya jijik. Sebelum aku semakin membuatnya muak. Supaya ia bisa melupakanku dan sepenuhnya melenyapkan sosokku dari ingatannya. Supaya ia bisa terbang bebas dari cengkeramanku yang membelenggunya.

Ya. Begini lebih baik—

"Hush! Jangan ngejek budeg di depan orangnya, dong! Ga sopan!"

Euh ... tidak. Rumah sakit ini tidak lebih baik. Kupikir bisa mengurung diri di sini, menjalani keseharian sendiri, tanpanya, tanpa keluarganya. Itu karena awalnya kukira tidak akan bertemu muka dengan makhluk-makhluk tidak waras seperti perempuan paruh baya di sampingku ini contohnya!

Tiba-tiba ia bangkit dan memekik keras. "Duh! Berisik! Hei, kamu! Jangan diem aja, dong! Dia malah ngajak ngomong aku terus jadinya!"

Hiii! Entah yang mana yang betul, apakah ia benar sinting, atau memang ada sosok gaib mirip Siti tengah bersandar pada pundakku. Tapi tetap saja, keduanya mengerikan!

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang