39. Repeat

84 6 0
                                    

"Adam?"

Ia terengah-engah, kesulitan untuk bernapas melalui lubang hidung yang sedikit terbuka, tertutupi oleh kulit wajahnya yang meleleh mengerikan.

"Adam~, di mana kamu?"

Aku berlari dengan cepat disertai rasa takut. Suaranya yang selalu menghantuiku kali ini berubah serak, pitanya rusak akibat kobaran api yang hampir merenggut jiwanya dan menghancurkan sebagian tenggorokannya.

"Adam?"

Oh, tidak. Lemari yang biasa kujadikan tempat untuk bersembunyi saat ini sudah lenyap, meninggalkan sisa-sisa kayunya yang tutung berserakan, tercampur dengan puing-puing bangunan lainnya. Bahkan atapnya pun hilang, lepas seluruhnya dan hanya menyisakan beberapa batang baja yang awalnya berperan sebagai tumpuan.

Penampakan rumah ini sekarang jauh lebih hancur daripada yang terpampang di artikel surat kabar. Memang kepulan asap yang dihasilkan kebakaran besar saat itu sudah lenyap, namun seluruh areanya yang dibiarkan terbengkalai sekian lama ditumbuhi rerumputan liar dan tanaman merambat yang terlalu lebat.

"Adam—"

Ia terbatuk-batuk, suara yang dikeluarkannya begitu parau dan menyakitkan. Entah bagaimana caranya ternyata ia masih hidup. Walaupun parasnya tidak lagi menyerupai wajahku, tapi itu betul dia. Aku tidak mungkin salah.

Ke mana bajingan keparat itu? Aku yakin lelaki itu betul tadi berada di sini. Ia yang mengumpanku untuk masuk ke wilayah ini padahal sebelumnya aku hanya berdiri di luar, menatap dari jauh keberadaan bangunan tempat masa lalu kelamku terjadi. Aku tidak mungkin keliru, yang tadi itu Benny.

"Adam!"

Kali ini panggilannya yang berubah galak membuat sekujur tubuhku merinding. Aku menoleh ke berbagai arah di ruangan hancur berkeping-keping yang semula merupakan kamarku—gudang, lebih tepatnya.

Tidak ada pilihan, kuhampiri meja usang yang sebelah kakinya sudah patah, bentuknya saat ini miring menyedihkan ke satu sisi. Kubawa tubuhku masuk, meringkuk ke dalamnya dengan penuh kesulitan karena sekarang aku bukan anak kecil lagi, bersembunyi tepat di bawahnya.

Napasku berderu, keringat pun membanjiri sekujur tubuh. Aku terduduk gelisah, kepalaku menunduk di balik kedua lutut yang menekuk kaku. Sama. Sekali lagi. Sebentar lagi, karena langkah kakinya yang berat kian berjalan mendekat.

​"Di sini rupanya!" teriaknya yang berhasil menemukanku.


Pintu lemari dibukanya dan cahaya rembulan berhasil masuk, menerangi kegelapan di dalamnya dan mengembalikan indra penglihatanku ke semula. Jantungku berdetak kencang, iramanya semakin tidak karuan. Kuremas kepalaku keras yang pandangannya masih tertuju ke bawah, enggan untuk melihat wajahnya, menolak untuk menatapnya yang tengah sibuk melepas paksa sabuk yang dipakainya.

"Mati! Mati! MATI!!!" teriaknya.

Aku terus merintih ketika pecutan demi pecutan yang dilabuhkannya pada tubuhku meninggalkan luka sayatan yang terlalu menyakitkan. Kuredam jeritan pilu yang telah berada di ujung lidah dengan menutup rapat mulut, mencegahnya agar tidak timbul, menahannya untuk tidak mengalir keluar, supaya siksaannya tidak bertambah kasar dan berharap bisa segera berhenti.


"Adam, Adam~. Kamu malah sembunyi di sini lagi," ucapnya seraya terkekeh.

Bahkan 'mengerikan' bukan kata yang tepat untuk menggambarkan rupanya. Seluruh kepalanya botak, hanya menyisakan beberapa helai saja yang tumbuh di lokasi yang tidak beraturan. Sebelah kelopaknya terkunci, menghalangi satu bola matanya untuk memandang sekitar. Sisi kanan bibirnya turun dan melekat hingga ke area dagunya. Daun telinga kirinya juga lenyap, hanya memunculkan lubang kecil saja di tengahnya.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang