30. Pain

55 3 0
                                    

Kepalaku tetap menunduk jauh ke bawah dengan kedua mata tertutup rapat. Udaranya terlalu berat, sesak, dan bau keringat bercampur dengan kabut asap yang cukup tebal. Suara gemercik hadir mengiringi irama napasku yang terengah-engah. Bukan, bukan rintikan hujan, karena kadang juga hadir suara letupan yang keras di sekitarnya.

Aku tetap memilih diam di sana, di bawah meja kayu yang padahal kondisinya pun saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Ya, kupastikan sebentar lagi bakal ambruk. Nyala api pun kurasakan perlahan mulai melahap ujung sepatuku, panas dan perih di saat yang bersamaan.

Cukup lama di sana dan aku tidak juga beranjak. Embusan hawa membara yang datang dan pergi jauh lebih baik daripada rasa sakit di sekujur tubuh yang masih juga mengeluarkan darah segar. Ya, begini jauh lebih baik.

Hampir saja kesadaranku hilang dan terlelap pulas kalau saja bunyi-bunyian itu tidak hadir. Kuberanikan diri untuk mengangkat wajah, menghadap ke arah suara gesekan itu berasal.

Ia berbaring telungkup di atas keramik, beban tubuhnya sendiri menyusahkannya untuk bergerak maju. Dipaksakannya untuk mendekat ke tempatku berada dengan mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa.

Posisinya dariku tidak terlalu jauh, namun dengan situasinya yang mengenaskan akibat terluka parah, beberapa menit baginya tidaklah cukup. Perlahan tapi pasti, ia semakin mempersempit jarak antara aku dengannya. Akhirnya kami pun saling bertatapan.

Bau busuk semakin tercium kuat kala ia mendekat. Bunyi desisannya timbul, sibuk membakar setiap helaian rambut yang bisa ditemukannya. Asap gelap menari-nari ke atas dari permukaan kulitnya yang meleleh, meneteskan lendir bercampur darah mengotori lantainya.

Di saat ia berhasil meraih sebelah kakiku, kondisinya sudah kian parah—pitak-pitak botak hadir tidak beraturan di kulit kepalanya, wajahnya rusak turun ke bawah memperlihatkan area gigi serta gusinya. Alis dan bulu matanya hangus seluruhnya, kelopaknya mengendur dan bola matanya bahkan semakin menonjol seperti hendak keluar.

​"Ni ... cho ... las," panggilnya dengan nada parau.


Aku serentak sadar. Netraku tepat menatap langit-langit ruangan berwarna putih membosankan yang tentunya merupakan kamarku sendiri.

"Cho?"

Panggilan Oma terdengar dari sampingku. Hanya dari nada suaranya saja ketika mengucapkan satu suku kata itu, bisa terdengar jelas kekhawatiran di dalamnya.

Tidak kubalas ucapannya ketika irama detak jantungku masih terlalu cepat, kencang, dan tidak beraturan, seperti kereta api yang kebablasan hingga keluar jalur rel. Selama sejenak ia tidak berbicara, memberikanku ruang untuk beristirahat.

"Cho?" panggilnya lagi setelah dirasakannya aku sudah cukup tenang. "Bisa duduk?"

Aku mengangguk pelan dan mengikuti sarannya. Kepalaku menyandar pada headboard ranjang dan kelelahan berat detik itu juga segera melanda. Kesakitan di kepala seperti biasa muncul, memaksakan untuk ikut hadir mengiringi ketakutan yang menghantuiku.

Argh! Sakit itu lagi.

Aku merintih di saat rasa perih tiba-tiba saja muncul di pergelangan tangan. Tumpukan luka menyayat itu kian memerah, makin lama makin pekat, akhirnya mengeluarkan cairan dari dalamnya yang bertekstur kental.

"... Cho?"

Tatapanku terus mengarah padanya yang bentuknya semakin tidak karuan. Darah segar mengalir ke bawah, membasahi lengan menuju siku, dan pada akhirnya menetes juga menodai kasur putih tempatku berada.

"Cho?"

Aku mengerang untuk kedua kalinya. Rasa nyeri kali ini hadir dari area paha kanan, menusuk dalam dan jauh lebih menyengat. Kutarik celana pendekku ke atas dengan tergesa-gesa, luka itu pun segera memperlihatkan wujudnya kepadaku.

Bentuknya menjijikkan dan sedikit timbul apabila dibandingkan dengan permukaan kulit di sekitarnya. Robekan yang awalnya hanya sepanjang  lima sentimeter itu kian membesar akibat bengkak, memperlihatkan lapisan daging yang terkoyak di dalamnya. Bagaikan lahar yang kian pasang, cairan merah itu mulai meluap, membasahi ujung jemariku yang menyentuhnya.

"... Cho?"

Kuangkat wajah, menatap kedua mata Oma yang dipenuhi kebingungan. Kuperlihatkan tanganku yang bergetar dan dilapisi darah kepadanya, telapakku sepenuhnya terbuka ke depan mukanya.

"... Kenapa, Cho—"

"Argh!"

Luka-luka lain mulai bermunculan dan jumlahnya puluhan atau mungkin ratusan. Di sepanjang paha, lutut, betis, juga di tangan, dan sekujur lengan. Semuanya berdenyut, semuanya tercabik, semuanya menjijikkan, semuanya berdarah.

"... Ni-Nicholas?"

Posisiku berubah menjadi berbaring meringkuk dengan sebelah lutut menempel di dada. Daguku pun kian menekuk ke bawah, berusaha menahan rasa sakit yang semakin hebat. Kedua telapakku menekan salah satu lukanya pada betis, mencoba menghentikan alirannya yang keluar terlalu deras.

"Nicholas!"

Eranganku berubah menjadi jeritan histeris. Terus, berulang-ulang, dan tidak juga berhenti. Napasku berderu kencang dan terengah-engah.

"... Nicholas ... Nicholas!"

Kedua tangannya melekat pada masing-masing pipiku, memaksakanku untuk sedikit menengadah ke atas.

Aku memberontak melawan perintahnya dan sekali lagi menatap luka-luka di sekujur tubuh. Sekarang bentuknya lebih mengkhawatirkan karena bengkaknya raksasa, warnanya berubah kebiru-biruan, dan darahnya bahkan menghitam. Jumlahnya pun semakin berlipat, memenuhi seluruh permukaan yang bisa ditemukannya.

"NICHOLAS!"

Dikerahkan tenaganya dengan kuat dan wajahku kali ini tepat diarahkan padanya. Dahinya berkerut, kedua matanya terbelalak lebar, dan air mata membasahi mukanya.

Bahkan keberadaannya di sini baru kusadari sekarang. Ia yang seharusnya tengah berada di kampus, fokus mengerjakan soal-soal ujian yang maaf, menurutku alamat salah semua jawabannya. Ia yang kuharap tidak pernah menyaksikan secara langsung situasi mengerikan seperti ini, namun sekarang, netranya menangkap kelemahanku dengan terlalu jelas.

Kedua telapaknya yang masih dilabuhkan padaku mengarahkan tatapanku untuk tetap tertuju pada bola matanya. Warnanya yang jernih kecokelatan kali ini lembap, masih belum mau menghentikan isakan tangisnya.

Kesakitan tadi sedikit demi sedikit mereda tergantikan oleh denyutan di kening yang sangat mengganggu. Kehangatannya pun lepas di saat embusan iramaku kembali teratur.

Semua kengerian tadi tiba-tiba saja lenyap, tergantikan oleh bekas cambukannya yang tersamarkan di bawah tinta hitam tebal lukisan tato tepat di masing-masing atasnya. Kekuatanku seluruhnya terkuras, menyisakan tubuhku lemas dan tidak bertenaga.

"Oma ... Oma panggil dokter, sekarang!" ucapnya dipenuhi kepanikan dan meninggalkan ruangan dengan langkahnya yang terlalu cepat. Tolong jangan berlari, Oma. Kalau jatuh, tidak lucu.

Permukaan kasur kurasakan sedikit turun ketika dirinya mendekat, berusaha menyeka dahi dan leherku dari keringat yang pastinya banjir keluar. "Gapapa?" tanya Vanessa dengan nada cemas.

Kuangkat lengan sedikit ke atas, memperhatikan tanganku yang ... ugh! Tremor parah di luar batas normal. Kutelan ludah sebelum mengangguk pelan menjawabnya. Tentunya aku berbohong karena aku tidak sedang baik-baik saja.

Kututup kedua mata, fokus menarik dan mengembuskan napas seperti manusia normal pada umumnya. Kurasakan kehalusan kulitnya sekali lagi ketika jarinya menekan dahiku, berusaha meredam sakit kepala yang masih juga enggan lenyap.

"Gapapa?" tanya Vanessa lagi.

"Hm," jawabku singkat dan aku pun terlelap.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang