Epilogue

335 18 0
                                    

Taman ini masih sama seperti dulu. Kesejukkannya menenangkan batin, hijaunya rerumputan dan rindangnya pepohonan mengaburkan bau polusi di luar sana. Sayangnya air mancur yang dulu menghasilkan suara percikan kali ini padam, mengering sempurna dengan lapisan lumut tebal menutupi setiap permukaannya.

Kursi kayu panjang ini pun masih tetap berada di sini, namun kulit di beberapa areanya saat ini telah mengelupas, menunjukkan daging di dalamnya yang berwarna kemuda-mudaan. Aku menoleh ke ujung jalan, gerobak pencuci mulut itu sekarang tidak tampak. Mungkin karena masih terlalu pagi dan sangat jarang biasanya ada pembeli yang mau menikmati es krim bernuansa dingin.

Aku berlabuh di atasnya, wajahku menghadap langit cerah yang sebagian besarnya tertutupi oleh ranting pohon yang panjang-panjang, menjalar ke berbagai arah. Sekian lama menatapnya, kali ini kuputuskan untuk menutup kedua mata, merasakan embusan anginnya yang menerpa sekujur tubuh.

Sekian lama aku duduk di atasnya, menikmati kicauan burung yang bernyanyi terlalu merdu, kemudian ... suara langkah kaki yang bergesekan dengan rumput mulai terdengar.

1 ... 2 ... 3 ...

Langkahnya pelan, teratur, dan penuh kehati-hatian.

Aku tidak bergeming dan berusaha untuk lebih menajamkan indra pendengaran. Berusaha menangkap pengulangan bunyi-bunyian itu lagi.

4 ... 5 ... 6 ...

Kali ini langkahnya terhenti. Suasana hening, bahkan senandung lagu dari binatang kecil bersayap itu pun ikut terbawa lenyap.

Aku terus menunggu, dan menunggu.

7 ... 8—

Kelopakku sepenuhnya terbuka. Bukan karena posisinya saat ini seharusnya sudah tepat berada di belakangku, tapi suara lain hadir, bunyi keras yang memekakkan telinga dan cukup mengagetkan, suara ... sendawa.

Aku bangkit berdiri dan segera membalikkan tubuh.

Wajahnya yang selalu kuingat, yang tidak bisa hilang dalam benak, yang terus muncul walaupun kupejamkan kedua mata, saat ini sudah berada di hadapanku, namun parasnya memerah ... karena malu.

"Sorry, sorry. Baru beres minum susu sebelum ke sini," jelasnya seraya menyeka sisa cairan putih yang mengalir keluar ke area dagunya yang gemuk.

Ia menatapku. Ia sepenuhnya mengamatiku. Dengan kedua matanya yang bulat dan lipatannya yang besar, bulu matanya yang panjang juga lentik—matanya.

Kali ini kelopaknya menutup dan tubuhnya sedikit berguncang, ia pun bersin. Sedikit ingus keluar dari hidungnya yang mancung lurus—hidungku. Air liur menyemprot keluar dari mulutnya yang cenderung tipis—bibirku.

"Duh, Natalie! Jorok bener!"

Makhluk kecil dalam dekapannya ini kembali mendongak, bola mata di bawah rambut alisnya yang hitam tebal—alisku—tidak mengedip sekali pun dan kembali diarahkannya padaku. Dahinya kemudian berkerut hingga memunculkan tekukan-tekukan halus pada permukaan kulitnya, sama seperti yang biasa dilakukannya ketika tengah berpikir keras. Kemudian ia tiba-tiba saja menangis keras.

"Loh? Kok nangis? Natalie. Ini Papa."

"... Nes—"

"Iya," selanya seraya tersenyum manis dan lubang menjorok di sisi mulutnya sekali lagi bisa kulihat. "Ini Papa," ulang Vanessa dan meraba pipiku dengan telapaknya yang hangat.

Air mataku mengalir begitu saja membasahi jemarinya. Ketika ia tidak membuangku. Ketika ia masih setia menungguku. Ketika sosoknya sekali lagi hadir di hadapanku.

Telapak Natalie yang buntet ikut meraba pipi kiriku, euh ... bukan meraba, tapi lebih kepada menampar dan menepuk-nepuknya kasar. Sakit!

Vanessa pun tergelak ketika menyaksikan satu lagi perempuan telah lahir dan berani untuk menyiksaku, sama seperti keperkasaan yang biasa ditujukannya padaku.

Tapi ... kali ini aku tidak menyesal. Dengan kedua tangan terbuka, aku akan menerima kekasaran mereka berdua. Euh ... asal bogemannya jangan terlalu keterlaluan saja.

Setelah sekian lama, setelah mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan, meninggalkan masa lalu di belakang sana dan mulai melangkah maju menjalani kehidupan yang baru, akhirnya gestur ini bisa kukeluarkan juga. Kepada perempuan ini, kepada bayi mungil ini. Senyuman lebar hadir di wajahku seraya mendekap mereka berdua dengan erat.

p.s.

Ia yang memiliki paras lebih mirip denganku di luarnya sedangkan di dalamnya sama persis dengannya, saat ini tengah menarik helaian rambutku dan menjenggutnya kencang hingga hampir lepas.

Aw, aw, AWWW!!!

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang