11. Spirit

102 14 1
                                    

"Oma?"

Aku menoleh ke sekeliling mencoba mencari keberadaannya. Sejak aku terkejap dari istirahat yang seperti biasa tidak nyenyak akibat terganggu oleh hadirnya mimpi yang sama, suasana rumah terlalu hening, bagaikan tidak ada kehidupan di dalamnya.

Tinggal di rumah yang terlalu besar tanpa kehadiran banyak orang di dalamnya ternyata begitu menyedihkan. Seperti sekarang contohnya. Apa bedanya dengan hidup sendiri kalau begitu.

"Oma?" panggilku lagi.

Kali ini langkahku menuruni tangga dan segera kubawa tubuh berbelok ke kiri menuju kamarnya yang berada di lantai bawah.

"Oma?"

Ketukan pelan kulabuhkan pada daun pintu yang tertutup rapat. Sejenak aku berhenti, menunggu hadirnya balasan suara dari dalamnya. Tetap tidak bergeming, kepalanku telah siap untuk menggedornya sekali lagi.

"Cari Oma, Mas?"

Hiii! Kenapa malah makhluk jadi-jadian ini yang hadir? Aku tidak memanggilmu, jadi hush! Pergi sana jauh-jauh!

Kalimatku barusan perlu kukoreksi, sepertinya. Masih jauh lebih baik tinggal sendiri di rumah berukuran raksasa, daripada bersama dengan setan satu ini. Oh, tidak. Air sucinya lupa! Padahal mukanya yang berada tepat di hadapanku akan memudahkanku untuk memerciknya. Pastinya bakal kena sasaran.

"Galak bener liatnya!" protes Siti tidak suka.

Tuh, 'kan! Kelakuannya harus diperbaiki secepatnya. Mana ada pembantu yang berkata tidak sopan begitu pada majikannya? Mana anggukan pelannya saat berpapasan denganku? Mana ucapan 'selamat pagi'-nya? Setidaknya ganti dulu cara berbusananya deh, yang terlalu terbuka dan minim kain.

"Oma pergi pagi-pagi sekali. Ga tau ke mana," jelasnya tidak membantu.

Bah! Padahal aku hendak bertanya padanya mengenai seluruh masa laluku. Lagian, aneh sekali. Kenapa tidak ada foto keluarga di setiap dinding rumah?

Dengan gobloknya aku baru menyadarinya saat mampir ke rumah Vanessa kemarin. Di dinding ruang keluarga tepat di atas televisi, melekat besar sebuah foto—Om Robert dan Tante Stella duduk berdampingan di atas sofa, kepala Vanessa menyembul keluar dari antaranya dan mengalungkan kedua lengan pada masing-masing tengkuk orang tuanya. Ketiganya tertawa lebar, parasnya dipenuhi keceriaan. Tentunya tekukan lesung pipi kembali hadir menambah kemanisan wajahnya.

Lucu sekali. Bahkan aku tidak tahu seperti apa rupa ayah dan ibuku. Setelahnya berjuta pertanyaan mulai bermunculan dari dalam otak. Di mana mereka? Kenapa aku tinggal bersama Oma? Apa aku anak tunggal? Dan yang paling gilanya juga, aku tidak tahu siapa nama orang tuaku!

... Oh? Mungkin kuntilanak ini tidak sepenuhnya useless.

Kutarik napas dalam guna mengumpulkan tenaga. Oh, dewa-dewi di atas sana. Aku menyembah pada kalian semua. Tolong beri aku perlindungan supaya tidak dipeletnya.

"Tunggu," pintaku singkat padanya yang hendak pergi. ... Melangkah, 'kan? Kakinya berpijak, 'kan? Tolong jangan bilang kalau dia melayang. Hiii!

"Tadi galak. Sekarang manggil. Apaan, Mas?" balasnya menyebalkan seraya cemberut.

"Euh ...."

Kalimat pertanyaanku pasti bakal aneh didengarnya. Tapi ... bodo amat, lah!

"... Papa-Mama ... ke mana?"

Okay. Kali ini Siti membeku. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka. Jauh lebih mengerikan dari mukanya yang biasa. Harusnya kali ini nih, saat yang tepat untuk menyemprotkan air suci. Ke dalam mulutnya sekalian, supaya secepatnya binasa.

"Lupa. Mas kejedot sampe lupa ingatan, yah," mulainya baru sadar seraya menepuk jidat. "Siti di sini baru sebulan, Mas. Meneketehe orang tua Mas di mana. Dari waktu pertama kerja juga cuma ada Oma di sini."

Lah! Benar tidak berguna ternyata.

"Pak Udin gak pernah cerita apa-apa emang? Kalian temenan, 'kan?"

"Kurang ajar toh, Mas! Dia bapakku!"

Heh? Pak Udin itu ayahnya? OMG! Kukira seumuran! Maafkan aku telah salah menilai usiamu. Suruh siapa berwajah emak-emak begitu. Tunggu! Kalau genderuwo ini anaknya ... oh, tidak! Umur berapa dia sekarang? Masih muda, dong! Jangan bilang usia kawin. Hiii! Jauh-jauh kau! Enyah setan! Enyah! ... Eh? Aku sendiri, berapa umurku sekarang?

"Perlu apa lagi, Mas—"

"Ga ada! Siapin minuman aja di gazebo! Sekarang! Air es!"

Aku pun segera berlari meninggalkannya dengan cepat, kembali ke lantai atas guna meraih handuk dari dalam lemari. Di saat gerah begini plus nganggur tidak ada kerjaan, lebih baik aku berenang saja, menyejukkan diri. Hitung-hitung sambil menunggu Oma kembali, sekalian juga guna meredam emosi yang memuncak tinggi karena tidak ada satu pun pertanyaan yang terjawab.

Aku melirik dari arah pintu kaca yang merupakan satu-satunya akses menuju halaman belakang. Tidak tampak kehadiran siluman itu di sana. Fiuh! Bayanganku sedikit terpantulkan padanya—sudah siap dengan celana renang juga telanjang dada. Selembar handuk mengikat pada leher, sebagai tempat bertumpu untuk bisa melambai. Okay, penampilanku menyedihkan. Seperti menuruti Superman, iri, ingin juga memakai jubah. Apa boleh buat demi menutupi bekas luka di punggung yang masih belum bisa kuterima kehadirannya.

Terik pancaran sinar matahari segera menusuk permukaan kulit ketika tubuhku berdiri di ruangan terbuka. Panasnya begitu menyakitkan dan tak tertahankan. Segera aku bergegas dan melompat ke dalam kolam.

Bahkan suhunya berubah hangat, ikut terbawa naik karena terus diterangi oleh si bola api. Kupejamkan kedua mata berupaya mengurangi kesilauan dan menahan napas seiring kubawa tubuh semakin menyelam jauh ke dalam. Setelah mendarat di dasarnya, kutahan sebisa mungkin supaya tidak sekali lagi mengambang ke permukaan.

1 ... 2 ... 3 ...

Hitungan kumulai di saat sekitarku mulai berubah sejuk, cahaya terangnya tidak sanggup menembus hingga ke bawah sini.

10 ... 11 ... 12 ...

​Kehangatan tubuh seolah turut membaur, sekarang sangat pas dengan suhu air yang menyelimutiku.

25 ... 26 ... 27 ...

Suasana hening tanpa suara bising. Aku merasa tenang bersembunyi di bawah sini.

​38 ... 39 ...

Hm? Terang apa itu?

Seberkas sinar berhasil menembus lapisan kulit kelopaknya yang tipis, sepenuhnya menarik perhatianku untuk membuka mata dan mencari tahu dari mana datangnya cahaya itu.

... Empat PULUH!

Seluruh oksigen serentak keluar dari paru-paru, air kolam pun memenuhi mulut hingga rongga pernapasan. Aku seketika meronta akibat tercekik kehabisan udara.

Kugerak-gerakkan kedua tangan dan kaki, berusaha mendorong tubuh untuk naik secepat yang kubisa. Buih-buih udara bermunculan mengaburkan pandangan dan bola mataku semakin perih.

Segera kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya dari mulut yang terbuka lebar setibanya aku di permukaan. Napasku keluar terengah-engah, kepanikan sepenuhnya melanda.

Bukan. Bukan karena aku hampir tenggelam.

Aku mulai melangkah ke samping, meraih dinding kolam yang putih bersih itu dengan kedua tanganku yang bergetar. Kedua kakiku akhirnya dapat berpijak di dasarnya yang dangkal. Kucoba untuk mengatur irama napas ke semula, mencoba kembali mengingat apa yang telah mengagetkanku saat menyelam barusan.

Bukan karena kehabisan napas, tapi wajah seorang wanita yang menjerit muncul tepat di hadapanku.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang