18. Skinship

151 8 5
                                    

Selesai makan siang di penginapan—ya, makan siang, karena perempuan ternyata menghabiskan waktu yang sangat lama untuk siap-siap—kami segera berangkat menyusuri Pulau Dewata untuk belanja kebutuhan selama seminggu berlibur. Tidak ada stok baju ganti, terpaksa kami mengenakan pakaian bekas kemarin walaupun saat ini tampak dekil dan kusut. Semoga saja aroma baunya tidak tercium.

Segelas kopi dingin di tangan kiri dan kipas di tangan kanan yang terus mencoba menyejukkan badan, namun keberadaan mereka tetap tidak bisa mengatasi kegerahan yang menerpa. Cuacanya memang cerah karena langit di atas sana seluruhnya biru muda dengan sedikit awan, tapi aku benci ketika pancaran terik matahari yang kuat menyerang kulit.

Sehingga benda pertama yang kutuju? Topi dan sunglasses. Euh ... keliru sebetulnya. Harusnya tujuan utama kan underwear! Hadeuh. Aku malah fokus membeli barang yang tidak penting. Setelah ini aku bakal langsung menuju ke area pakaian dalam.

Sudah sekian lama kami menghabiskan waktu dan saat ini kedua tanganku penuh dengan tas belanjaan yang isinya kaus santai, celana pendek, dan ya, ya, celana dalam. Aku tidak lupa!

Kalau sandal pantai sudah melekat di kedua kaki karena sebelumnya aku masih mengenakan sepatu resmi yang mana, tidak nyaman! Kemeja dan celana panjang hitam pun sudah lenyap, sekarang aku mengenakan kaus tanpa lengan dan celana cargo. Gambar tato di sekujur tubuh pun mau tidak mau terpampang keluar juga, tapi ya sudah, lah! Intinya jalanan dipenuhi masyarakat lokal dan para bule yang cukup banyak di antaranya juga merupakan pencinta seni lukisan pada permukaan kulit.

Jangan salah, barang belanjaanku hanya dua dan keduanya kujinjing di tangan kiri. Sedangkan di kanan yang jumlahnya lima, semua punya dia. Ugh, berat! Yang dibelinya? Kaus oblong, kaus tanpa lengan, baju terusan, ikat pinggang, celana pendek, kaus kaki, sneakers, sandal santai, topi, kacamata, accessories lain, dan masih banyak lagi. Jangan lupakan juga variannya yang beraneka corak dan warna. Intinya semua diborong! Gah!

"Heh! Tunggu, tunggu!"

Duh! Mau apa lagi perempuan satu ini? Jangan bilang masih belum cukup dan bakal bertambah lagi bawaanku nanti.

"Heh! Sini!" perintah Vanessa lagi.

Dengan terpaksa aku menoleh ke arah panggilannya berada, tengah duduk manis di atas konkret taman di bawah rindangnya pepohonan. Lengan kanannya memanjang dan telapaknya melambai ke atas dan ke bawah, menyuruhku mendekat.

"Apaan?!"

"Galak bener! Masih bagus gue panggil!"

Loh? Yang galak itu siapa?! Juga, tolong bantu bawa sebagian, dong! Aku ini suaminya, bukan budak atau pembantu. Berat, 'kan!

"Euh ... lo-lo ... ngapain?"

Tentu kalimat pertanyaan itu keluar terbata-bata dari dalam mulutku karena tanpa permisi terlebih dahulu sebelumnya, tiba-tiba saja telapaknya menyentuh wajahku dan menepuknya berulang-ulang.

"Jangan gerak!"

Hampir saja aku mengelak karena kupikir ia hendak menamparku. Maaf, tapi karena sudah pernah sekali ia menonjokku, setiap kali tangannya terangkat ke atas tanpa sadar aku langsung spontan mengelak.

"Hadeuh! Tau, 'kan? Sinar matahari itu ga bagus. UVA dan UVB! Bisa bikin kulit terbakar, cancer, dan keriput," jelasnya sambil bergidik ngeri dan membalurkan cairan kental berwarna putih dari dalam tube ke pipiku. "Gue ga mau entar dikira married sama kakek-kakek."

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang