31. Riddle

70 4 0
                                    

"Pagi-pagi udah ngalamin kejadian ga enak!"

Sesuai ucapannya, ya, pagi-pagi Vanessa sudah mencak-mencak dibarengi dengan embusan napas dan decakan lidah yang keras.

Apa kemarin itu aku salah dengar? Ketika nada suaranya yang mencemaskanku terdengar begitu merdu dan menenangkan. Ya, tampaknya saat itu aku terlalu syok hingga otakku kebakaran. Karena lihat buktinya sekarang, boro-boro kedatangan malaikat dari langit, yang ada malah kejatuhan kingkong!

Kupercepat langkah di belakang mengikutinya, rambutnya masih basah hasil keramas yang belum sempat dikeringkannya. Punggung bajunya basah akibatnya, membentuk sebuah bulatan besar berwarna lebih gelap hampir mencapai area pinggangnya.

"... Paling engga, lo masih pake sesuatu," balasku membela diri, berharap sedikit dapat meringankan tingkat kesalahan yang kuperbuat. "Anggep aja kita ... impas."

Ia berhenti mendadak dan membalikkan tubuhnya. Karena tanpa pemberitahuan sebelumnya, aku tidak sempat menginjak pedal rem dan akibatnya, badannya masuk ke dalam pelukanku. Hei! Jangan salahkan aku, dong! Makanya pasang lampu sein dulu sebelum melakukan u-turn.

Sekali lagi aku menikmati kehangatannya, sama seperti yang kulakukan padanya kemarin malam. ... Jangan melihatku seperti itu! Jangan menuduhku mirip pervert! Tolong dengar dulu ceritanya!

Ehem! Jadi ... setelah kepanikan kemarin yang membuatku terkapar lemas dan tanpa sadar tidur pulas, aku baru bangun ketika waktu sudah lewat tengah malam. Di mana? Di atas ranjang. Tidak ada yang aneh? Tentu tidak yah, karena kalau kita tidur, ya sudah jelas di atas ranjang. ... Tapi maaf, jawabannya salah! Betul-betul aneh! Karena terbalik, malah aku yang di ranjang sedangkan dia di atas tikar!

Dasar cewek bego! Pasti ia merasa bersalah lagi karena aku ke gudang atas usulnya. Padahal kan dia tidak tahu kalau aku bakal jatuh pingsan! Karena aku sendiri juga baru tahu kalau masa laluku ternyata mengerikan begitu! Tidak, tidak. Aku masih belum ingat seluruhnya.

Tentu aku tidak bisa membiarkannya tetap di sana, terlelap dengan posisi meringkuk kedinginan, tanpa selimut pula. Mana ukuran tubuhnya yang terlalu kecil membuatnya tampak begitu menyedihkan ketika tidur di bawah. Ya sudah, kuangkat saja dia, memindahkannya supaya kembali menempati kasur. Baik bukan diriku ini?

Sebelum aku melanjutkan bercerita, aku bersumpah bahwa yang akan kuucapkan disertai seratus persen kejujuran. Tolong jangan main tuduh dan men-judge-ku seenaknya.

Jadi ... Vanessa memelukku.

... Hei! Aku sudah bilang 'kan, kalau aku tidak akan berbohong! Jadi jangan melihatku seperti itu!

Begitulah faktanya. Aku turun dari ranjang, meraih tubuhnya, menaikkannya ke kasur, lalu sebelum aku berhasil melepasnya, cewek ini mendekapku erat bagaikan aku ini boneka beruangnya.

Euh, terus ... te-terus ... okay, yang berikutnya mungkin aku yang tidak tahu diri. Habis, pegal 'kan, tidur di posisi seperti itu?! Ketika aku menahan bebanku dengan kedua lengan, takut sosoknya gepeng karena kutindih. Jadi, ya sudah. Aku balas saja perlakuannya, mendekapnya erat di dada, dan membalikkan tubuh sehingga aku berada di bawahnya. Hasilnya? Hangat~. Aku pun melanjutkan tidur bersamanya di dalam pelukanku.

Dan situasi malam itu terjadi lagi sekarang, hanya dalam posisi berdiri, bukan di atas ranjang. Dan sama juga, ia tidak memberontak. Aneh? Aneh.

Pagi tadi sebetulnya aku sudah bangun. Kenapa lagi kalau bukan karena dengkurannya yang cempreng di dadaku. Tapi ... entahlah. Aku tetap diam dan membiarkannya terus nyanyi.

Lalu ketika ia mulai bergerak, aku segera menutup kelopaknya, pura-pura kembali tidur. Kupikir habislah nasibku karena akan menerima tonjokannya sekali lagi. Tapi nyatanya aku salah, ia malah mengecek suhu tubuhku dengan meletakkan telapaknya di kening, lalu bangkit, dan masuk kamar mandi. Aneh.

"Heh. Tadi lo minta ditemenin, bukan minta dipeluk," sindirnya namun tetap diam di dalam pelukanku.

"Hah? ... Oh, iya."

Aku pun segera melepas tubuhnya pergi dan yahhh .... Dingin lagi, deh.

Terus ... kenapa tadi dia marah-marah begitu? Padahal di ceritaku barusan tidak ada pertengkaran, tidak ada keributan, cuma ada peluk-pelukan.

Nah yang ini, kuakui merupakan salahku.

Aku baru ingat kalau foto yang kutemukan kemarin masih berada di gudang! Aku perlu ke sana lagi, ke tempat itu, ke gudang yang ternyata betul seperti ucapannya, menyimpan masa laluku di dalamnya. Tapi ... gah! Sial! Sudah ketahuan olehnya, 'kan? Iya, iya! Aku takut! Kalau bisa, aku pun tidak mau menginjakkan lagi kedua kakiku di sana! Jadi, aku butuh dia untuk menemaniku!

Tanpa sadar aku sudah beranjak dari ranjang dan begitu saja membuka pintu kamar mandi tempatnya berada, di mana ia hendak, euh ... nomor satu? Atau nomor dua? Entahlah, karena sedetik setelahnya, handuk tebal dilemparnya ke mukaku dan pintu dibantingnya keras. Semoga tidak bertambah satu lagi engselnya yang copot karena Pak Udin belum sempat memperbaikinya.

Okay, kembali ke cerita utama. Saat ini kami sudah berada di muka gudang dan keadaan di dalamnya jauh lebih hancur daripada kemarin, super berantakan, karena ingat? Aku yang mengobrak-abriknya. Maaf! Dan cewek yang kuharapkan bisa menjadi sumber ketenanganku hari ini? Ia enggan masuk karena ngeri akan laba-laba! Bah! Untuk apa juga kalau begitu aku mengajaknya?!

"Yang nemuin gue di sini siapa?" tanyaku memulai topik pembicaraan untuk mengalihkan perasaan takut yang sekali lagi muncul tanpa diundang.

"Siti sama Pak Udin."

Tentu saja. Ketika aku tidak juga kembali, pasti makhluk kolong jembatan itu yang tahu di mana keberadaanku.

"Rusak nih, lampunya," ujar Vanessa sambil tetap berdiri di luar dan hanya memanjangkan lengannya, menekan berkali-kali saklar yang melekat di dindingnya.

Tidak apa karena sekali lagi kehadiran mentari sedikit bisa memberikan penerangan ke dalamnya.

"Jadi, lo nyari apa?" tanyanya ketika aku sekali lagi melangkah ke sudutnya.

"Uhm ... ah! Ini dia!" pekikku riang ketika menemukannya di sana, terselip di bawah lemari tempatku kemarin tergeletak kaku.

Kutiup debu yang melekat, sekali lagi menampakkan wajahnya yang menawan di atasnya. Seperti ucapan Papa, kedua matanya identik dengan yang melekat di wajahku. Hanya itu. Sisanya yang lain, sejiplakan dengan pria yang berdiri di sampingnya—alis tebal, hidung lurus, bibir tipis, dan rahang tegas. Intinya, dia adalah aku dengan mata yang berbeda karena cenderung sipit dan lipatannya yang kecil.

Bahkan tatapanku tidak bisa terus melekat padanya. Khawatir kalau teriakannya yang memintaku untuk segera lenyap, ditambah dengan pecutannya yang keras dan menyakitkan, hadir lagi sekarang di depan perempuan yang biasanya perkasa namun tidak berani masu—hm?

"Woi. Katanya tadi ga mau masuk?!"

Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di sampingku, tangan kanannya berlabuh di permukaan lemari, tepat di samping tali tambang yang melingkar membentuk spiral sempurna. Dan parasnya ... syok! Wajahnya menegang dan dahinya sekali lagi berkerut.

"... Nicholas, ini ...."

Okay. Ia memanggil namaku. Ketika Vanessa seperti itu, pasti ada sesuatu yang aneh.

Selembar foto lain dipegangnya, juga masih sama hitam-putih, alias jadul. Wajahnya di sana betul-betul cerah, riang dan tanpa hadirnya sedikit pun kesedihan. Aku yang saat ini tidak mengenal dan belum mengingatnya pun ikut tersenyum dibuatnya.

Pundaknya dirangkul erat dan tangan keduanya saling bertautan. Sebelahnya lagi melambai ke arah kamera, tawa lebar memenuhi wajah mereka berdua.

Dan yang mendekapnya? ... Robert, alias papanya.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang