3. Return

253 18 0
                                    

Kendaraan besar berwarna putih mengilat dengan pintu penumpangnya yang telah terbuka sudah siap diparkir tepat di depan pintu masuk. Seorang pria berumur 40-an berlari menghampiri kami, melewati pintu kaca yang tergeser secara otomatis di saat bayangannya tertangkap sensor kamera. Tubuhnya kurus dan tidak terlalu tinggi, warna kulitnya yang cokelat kemerahan menunjukkan kalau lelaki ini sering berjemur di bawah sinar matahari. Dengan cekatan, segera ia membantu membawakan tasku ke dalam bagasi.

"Den, syukur Den Nicholas sudah boleh pulang," ucapnya ramah diiringi senyuman walaupun wajahnya tampak sedikit lelah dan keringat mengucur di dahinya.

Dengan perasaan tidak enak telah membuatnya lama menunggu, aku membalasnya dengan tersenyum kaku dan mengangguk canggung.

Udara di luar yang panas dan lembap membuatku kesulitan untuk bernapas. Langit di atas sana berwarna gelap walaupun waktu masih menunjukkan pukul tiga sore. Awan mendung pun sudah berbaris, siap untuk segera menumpahkan tetesan air hujan dari dalam perutnya yang mulai membuncit.

Perasaan sesak dan gerah segera saja lenyap dan tergantikan oleh udara dingin ber-AC begitu tubuhku kubawa masuk ke dalam kendaraan. Pak Udin—itulah penjelasan yang diberikan Oma mengenai sopirnya yang katanya sudah bekerja puluhan tahun lamanya—segera memegang setir kemudi dan membawa kami meninggalkan rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, tatapan mataku tertuju ke luar sana, mengamati hiruk-pikuk jalanan yang ramai dan penuh kendaraan berlalu-lalang. Entah kenapa situasi seperti sekarang ini tidak terasa asing sama sekali.

Seketika itu juga hujan turun dengan sangat deras dan mengaburkan pandangan. Samar-samar dari balik kaca jendela yang saat ini telah dibanjiri aliran air, kuperhatikan penduduk sekitar sibuk melarikan diri, mencari tempat untuk berteduh di bawah atap atau sekedar meminta perlindungan dari rindangnya pepohonan.

"... Begitu ... pulih ... rencana per ... nikahan ... dilan ... jutkan ...." Terganggu oleh suara rintikannya yang terlalu lebat, perbincangan Oma dengan Vanessa terdengar terputus-putus dan tidak jelas.

Apa?! Tidak, tidak.

Kedua mataku terbelalak lebar dan aku segera menoleh ke belakang. Vanessa kemudian mengangguk kaku kemudian tatapan mata kami bertemu. Tidak berselang sedetik setelahnya, ia segera membuang muka, mengalihkan pandangannya dariku.

***

Diperlukan waktu kurang lebih satu jam lamanya baru akhirnya kami dapat meninggalkan kepadatan dan kemacetan kota. Hujan yang deras juga tidak membantu, malah turut memperburuk jalannya laju arus lalu lintas. Aku tersadar dari lamunan begitu kendaraan memasuki area komplek perumahan yang bebas dari kebisingan bunyi knalpot dan suara klakson yang tak henti-hentinya ditekan oleh para pengemudi yang tidak sabaran.

Satu per satu kuamati setiap bangunan yang terlewati sambil menduga tempat tinggal seperti apa yang katanya sudah sejak lama kuhuni itu.

Rumah bergaya minimalis modern tampak di hadapanku dengan eksterior bangunannya yang dipenuhi kaca dan bebatuan alam. Tidak, tidak. Aku langsung beralih ke kediaman berikutnya karena sepertinya unsur 'modern' terlalu jauh dari karakter Oma. Okay, cenderung tidak sopan, namun baju yang dipakainya menurutku sedikit, maaf sebelumnya ... kolot. Apa boleh dikata, memang sesuai dengan usianya yang tidak muda lagi. Sekali lagi, maaf.

Rumah bergaya seniman dengan bentuk bangunan yang unik? Ditambah juga dengan lekukan-lekukannya yang abnormal dan berbeda dari bangunan standar pada umumnya?

Kuingat kembali penampilan wanita tua di belakangku dan tanpa sadar aku menggelengkan kepala. Next! Ya, tidak mungkin. Oma tidak terlihat seperti seorang seniman pencinta karya seni. Buktinya gaya berbusananya cenderung normal dan tidak tergolong nyentrik.

Be with YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang