10. Pemimpin

25 6 0
                                    

Kamu pernah bertanya pada Law, merasa terheran-heran dengan Cavendish yang sangat amat sensi padamu sejak pertama kali kalian bertemu. Law yang mendengar nama Cavendish disebut pun berkata, "Cavendish? Yang rambut kuning mata biru?"

Kamu bertepuk tangan sekali dan menunjuk Law dengan telunjuk. "Nah, iya. Berbulan-bulan ini gue mikirin alasan dia sensi sama gue. Waktu itu posisinya gue sama dia, kan, baru ketemu. Dia tuh langsung aja jutek ke gue gitu. Padahal dia enggak.. apa, ya? Dia tuh enggak anti sama cewek gitu lah."

"Enggak ada salah di lo. Gue sama dia sempet jadi saingan pas jabatan ketua PMR mau diganti. Gue yang menang, Cavendish marah. Dia bilang gue yang waktu ekskul cuma diem doang malah dipilih. Akhirnya dia nyalahin fisik gue. Katanya yang milih pasti kebanyakan anak cewek karena.." Law menggantung kalimatnya.

"Lo ganteng," timpalmu.

Law menganggukkan kepalanya. "Sampe sekarang dia kelihatannya gak rela gue ngambil alih posisi ketua PMR. Sabar sabar aja, deh, lo. Kita sama-sama dibenci sama dia, kok."

Kamu menganggukkan kepala mengerti. "Padahal dia juga ganteng. Kayak bule gitu. Ngapain coba insecure sama lo? Aneh banget."

"Namanya juga insecure. Lo dibandingin sama Perona juga insecure, 'kan?" tanya Law.

"Ya iya lah. Siapa yang gak insecure dibandingin sama cewek cakep kayak dia?"

"Tuh kan. Padahal sejak lo main basket lawan Cavendish kemarin, anak-anak kelas ngomongin lo. Apalagi yang cowoknya," jelas Law.

Kamu menggaruk tengkuk. "Ya.. Cavendish juga habis main basket waktu itu, pasti makin banyak cewek yang suka sama dia."

"Udahlah, ngomong sama lo gak nyambung."

"Durhaka lo jadi adik."

"Beda sepuluh menit doang sombongnya kayak beda seratus tahun."

×××

Suasana ruangan yang begitu tegang. Semua orang menundukkan kepala sambil memegang pulpen di tangan kanannya. Beberapa dari mereka tampak kesusahan dalam menjawab, namun setengah dari orang-orang itu menyerah dan memilih mencontek ke internet.

Teman sebangkumu yang merupakan anak kelas dua belas merasa heran, mengapa kamu bisa sesantai itu dalam menjawab soal?

Tampaknya bukan kamu saja. Tapi, seluruh anak TKJ-1 yang ada dalam ruangan lima. Soal baru dibagikan beberapa menit yang lalu, tapi kamu sudah hampir menyentuh soal yang terakhir.

Kecepatan menulis anak kelas TKJ-1 tidak boleh diragukan. Mereka bahkan menaruh pulpen dengan serempak dan mengacungkan tangan. "Pak, saya sudah."

Orang-orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Bahkan teman-teman sekelasmu sendiri.

"Mending lo periksa dulu jawaban lo, kalau ada yang salah, bisa-bisa lo diketawain anak kelas karena songong sok-sokan udah padahal salah," kata Cavendish. Kepalanya menoleh ke arahmu.

Hal itu membuatmu emosi.

"Lo juga harusnya cek lagi jawaban lo," balasmu.

"Gak usah, sih. Gue setara sama adik lo waktu SMP dulu."

Kamu akui bahwa adikmu yang umurnya beda sepuluh menit itu memang pintar. Ayah kalian juga sering bercerita bahwa banyak guru yang mempertanyakan kepintaran otak sang ayah. "Udah gak heran, sih, namanya juga Law." Ayah kalian mengatakan bahwa itu adalah ucapan yang sering terlontar kala Law berhasil mendapat nilai bagus.

Tapi, di sekolahmu yang baru ini beda lagi.

"Sudah tidak heran. Kenapa anak-anak TKJ diisi oleh orang-orang yang pintar?"

Di sekolahmu, jurusan TKJ adalah pemimpin.










———
Gak bermaksud gimana-gimana ke jurusan lain. Tapi, aku yakin bahwa kalian yang SMK, pasti ada satu jurusan yang jadi pemimpin.

Ibu BendaharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang