ch29

14 2 0
                                    

Mohon tidak copy paste cerita ini! Hargai sesama penulis!

Shafa selesai menutup pintu, ia lantas memutar badan dan segera menyibak tirai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shafa selesai menutup pintu, ia lantas memutar badan dan segera menyibak tirai. Diam-diam Shafa memperhatikan Harun yang tengah membuka pintu mobil, setelah tubuh lelaki itu tak terlihat. Shafa dengan cepat menutup tirai jendela dan melangkah menghampiri Alif yang tengah berada diruang tengah.

"Bunda, ayyah baik ya," bocah kecil itu mendekati Shafa yang tengah membereskan bungkusan cemilan dari Harun dan menaruhnya diatas meja.

"Ayyah janji hali minggu lagi ngajak Alif main bun," cerita Alif kepada Shafa yang tengah membereskan barang yang berantakan.

Shafa tersenyum lantas manik matanya menatap Alif.

"Alif mau diajak ayah emangnya?" tanya Shafa.

"Mau bun, kata ayah mau ajak Alif ke wahana. Ayah bilang disana banyak permainan selu," Alif bercerita penuh antusias, matanya tampak berbinar-binar senang.

"Wah, bunda pengen juga dong," celoteh Shafa bercanda. Namun Alif menanggapinya dengan serius.

"Boleh bunda. Nanti Alif bilang sama ayyah kalau kesini lagi, kita bisa main baleng-baleng," ucap Alif yang membuat Shafa gelagapan.

"Alif, bunda bercanda sayang," Shafa masih belum siap mengakrabkan diri dengan Harun. Bahkan perempuan itu selama ini berbicara pada Harun hanya sekedar berbasa-basi saja.

"Gak apa-apa bun, selu loh. Mau ya?" todong Alif tersenyum menatap Shafa yang nampak salah tingkah.

"Ya udah deh, bunda ikut," ucap Shafa terpaksa demi menyenangkan hati Alif.

"Holeee," Alif bersorak senang seraya loncat-loncat karena girang. Shafa menatap Alif dengan menggelengkan kepala.

Tok tok tok

"Assalamualaikum," suara Hamidah menyadarkan Shafa. Shafa berlari tergopoh-gopoh dan membuka pintu, menampilkan Hamidah yang berdiri membawa beberapa bungkusan plastik sedang.

"Waalaikum salam, buk" Shafa tersenyum hangat dan Hamidah segera masuk rumah.

Wanita paruh baya itu menaruh bungkusan yang dibawanya ke atas meja, lantas menempatkan bokongnya disofa.

"Itu ibuk bawa beberapa kue dan makanan buat kamu dan Alif," ucap Hamidah menyandarkan tubuhnya dibadan sofa.

"Gimana buk, lancar acaranya?" tanya Shafa duduk disamping Hamidah.

"Lancar nak, si Zahra beruntung ya dapat laki-laki sholeh seperti ustad Malik," Hamidah bercerita tentang tetangganya yang baru saja mengadakan hajatan pernikahan yang baru ia hadiri. Hamidah sebagai tetangga, hanya bantu-bantu saja.

"Alhamdulillah buk, Shafa ikut senang Zahra menemukan orang yang tepat," ujar Shafa ikut bahagia.

"Iya gak nyangka aja, yang namanya jodoh gak ada yang tahu,"

-
-
-

Tepat jam setengah empat sore, Shafa tengah berada di ruang tamu. Shafa sibuk menata dan membersihkan barang menggunakan kemucing.

"Assalamualaikum," Shafa mendongak, tatapannya langsung tertuju kepada lelaki berparas tampan yang memiliki alis tebal yang berdiri diambang pintu. Shafa tersenyum dengan kaku dan mempersilahkan Akbar untuk masuk ke dalam rumahnya setelah menjawab salam lelaki itu.

Jantung Akbar berdetak begitu keras, memperhatikan perempuan cantik nan manis didepannya. Akbar melepas sandal yang dipakainya lantas duduk dikursi, sementara Shafa berlalu ke dalam untuk membuatkan minuman untuk lelaki itu.

"Alif dimana?" tanya Akbar melirik Shafa yang tengah menaruh cangkir berisi kopi susu diatas meja. Shafa tersenyum tipis menatap Akbar.

"Bentar dulu ya, aku panggilin Alif dulu," Shafa akan beranjak pergi namun tangan Akbar memegang tangannya. Shafa melirik, Akbar segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Shafa dengan perasaan tak enak hati.

"Maaf," Akbar menunduk merasa bersalah karena dengan lancang memegang tangan Shafa tanpa izin.

Shafa tersenyum, melihat sikap Akbar yang kali ini terkesan serius. Biasanya pria itu bertingkah bar-bar dan petakilan.

"Kamu lucu kalau serius gitu," Akbar yang melihat Shafa tidak marah padanya ikut tersenyum.

"Hehehe...masak sih lucu? Makasih, ya," Akbar cengengesan dan memasang tampang manis dihadapan wanita yang disukainya. Lelaki beralis tebal itu menganggap perkataan Shafa sebagai pujian. Padahal cuma dibilang lucu, tapi senangnya setengah mati. Apalagi kalau dipuji ganteng, makin besar kepala nih Akbar😁

Shafa duduk dikursi yang jaraknya cukup jauh dari lelaki itu.

"Maaf kalau aku marah sama kamu waktu itu," Shafa menunduk dan memilin jari-jarinya, merasa bersalah. Satu hari tidak mendengar ocehan lelaki itu membuatnya rindu. Akbar memang berisik dan tidak mau diam orangnya, dan itulah yang membuat Shafa rindu akan kebersamaan mereka sebagai teman.

"Ah gak usah dipikirin lah, aku mah udah maafin kamu dari dulu. Mana bisa sih aku dendam sama orang yang ku suka," Akbar nyengir, melemparkan jurus maut yang membuat Shafa terkikik.

"Ya udah ya, aku panggilin Alif dulu. Diminum ya kopinya," Shafa bangkit dari duduknya, dan perlahan masuk ke dalam.

Akbar terdiam sambil menunggu kemunculan Alif, sesekali tatapan mata Akbar menyisir ruangan itu. Matanya melirik sebuah figura yang membuat Akbar menatap figura itu dengan lekat, dimana sosok lelaki tampan tengah tersenyum memangku Alif. Wajah pria itu tampak tak asing, Akbar pernah melihatnya. Entah dimana, pria itu lupa. Melihat wajah pria itu yang mirip dengan Alif, Akbar meyakini bahwa lelaki itu mantan suami Shafa. Ah! Mengapa mendadak perasaan Akbar terasa sesak. Kalau Shafa masih mencintai mantan suaminya, maka Akbarpun akan kalah. Karena untuk berjuangpun rasanya tak akan mampu menandingi lelaki itu dihati Shafa, apalagi hadirnya Alif diantara mereka. Rasanya tak mungkin Shafa memilihnya, siapa ia? Pacar bukan, tunangan juga bukan, apalagi suami! Jadi ketika Shafa memilih kembali kepada mantan suaminya. Maka tak ada jalan terbuka untuk Akbar mendekati perempuan itu. Mungkin ia pasrah dan akan kembali ke kampung halamannya, untuk apa Akbar disini kalau orang yang disukainya kembali rujuk? Melihat potret tampan mantan suami Shafa membuat Akbar yakin bahwa hati Shafa masih untuk mantan suaminya. Akbar mendadak lemas membayangkan hal itu.

"Om, Akbal!" Alif bersorak riang melihat Akbar. Keakraban mereka terjalin karena sering bertemu meskipun hanya seminggu sekali Akbar mengajari Alif mengaji. Akbar tersenyum melihat kemunculan bocah empat tahun itu, Akbar menarik Alif dan mendudukkan bocah kecil itu dipangkuannya. meskipun bocah itu bukan anaknya, entah mengapa Akbar merasa sangat menyanyangi Alif. Mungkin karena Alif anak yang penurut dan tidak bandel, sehingga Akbar tak merasa kesulitan mengajari Alif mengaji.

Shafa tersenyum melihat sikap hangat yang ditunjukkan Akbar pada anaknya, ada sebersit rasa bersalah dihati Shafa karena mengabaikan ketulusan laki-laki itu. Tapi, Shafa masih belum bisa membuka pintu hati. Karena hatinya masih susah melupakan Harun, mantan suaminya.

Tbc
Apakah Shafa akan memilih Akbar atau memilik rujuk bersama Harun? Ikuti terus cerita ini sampai tamat ya. Jangan lupa tap lovenya ya sayang. See you all

I love you Shafa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang