CH 33

9 1 0
                                    

Mohon untuk tidak copy paste sebagian atau seluruhnya cerita ini! Hargai sesama penulis!!!

Mohon untuk tidak copy paste sebagian atau seluruhnya cerita ini! Hargai sesama penulis!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








Farida turun dari sepeda motor Wisnu. Perempuan berwajah manis itu segera menyerahkan helm ke arah Wisnu yang langsung diterima Wisnu dengan cepat.

"Makasih, udah nganterin gue pulang," ujar Farida memandang Wisnu.

"Yap, sama-sama Da. Gue kasian aja ngeliat loe setiap hari naik bis," balas Wisnu tersenyum.

"Loe ada masalah?" lanjut Wisnu menatap Farida lekat.

"Enggak," Farida menggeleng cepat.

"Gue lihat akhir-akhir ini loe kayak murung banget," ujar Wisnu beralih menatap ke arah lain.

"Gak usah sok tahu deh," ucap Farida.

"Gue bukan sok tahu sih. Lebih tepatnya gue orangnya gampang peka sama sesuatu, apalagi muka loe kagak bisa bohong. Kalau ada masalah jangan simpen sendiri, ngomong ke gue. Siapa tahu gue bisa bantu," Wisnu mengetuk-ngetuk helm ditangannya dengan jari seraya menatap Farida.

"Mmm...," Farida tampak ragu-ragu.

"Ngomong aja Da, gak usah sungkan," ujar Wisnu melirik Farida yang tampak menunduk.

"Gue...gue...lagi butuh duit," ujar Farida pada akhirnya.

"Berapa yang loe butuhin?
Siapa tahu gue bisa bantu," balas Wisnu

"Gue gak mau nyusahin loe, Nu," Farida memandang Wisnu dengan tak enak hati.

"Ya elah, gue siap bantu Da. Kalau gue bisa bantu lu, cepet butuh berapa?" Wisnu terkesan memaksa.

"Gue butuh Duit satu juta," ujar Farida tanpa memandang Wisnu.

"Oh, kenapa gak ngomong sih. Gue punya kalau duit segitu. Emang buat apaan?"

"Buat bayar biaya sekolah adek gue," balas Farida cepat.

Wisnu berdiri namun posisinya tetap diatas sepeda motornya, tangan kanannya merogoh saku bagian samping celananya dan mengeluarkan dompet berwarna hitam lalu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah lantas menyerahkannnya ke arah Farida.

"Makasih, nanti kalau gue gajian bakal gue bayar deh," ujar Farida tampak sumringah.

"Gue gak terburu-buru sih, asal loe jangan lupa aja. Sama bunganya sekalian," kelakar Wisnu yang membuat Farida melotot.

"Sama aja gue pinjem sama rentenir kalau gitu," Farida langsung manyun.

"Gue bercanda kali, serius bener lu!" Wisnu terkekeh menatap Farida.

"Gue kira beneran," Farida tampak malu dan SALTING.

"Hehehe...ya udah ya gue mau cabut nih! Udah mau maghrib," Wisnu menstarter sepeda motornya dan melirik Farida sebelum pergi.

"Assalamualaikum," ujarnya

"Waalaikum salam," Farida masuk ke dalam kosannya sambil mengenggam uang dari Wisnu, dalam hati Farida bernafas lega karena sudah mendapatkan pinjaman uang.

Farida memasuki kamar kosnya setelah melepas sepatu, ia lantas menutup pintu dan menghempaskan tubuh lelahnya dikasur. Tatapannya tertuju ke laci kecil disamping kasurnya, Farida bangkit kembali lantas menaruh uang dari Wisnu ke dalam laci itu.

-
-
-

Harun mengetuk-ngetukkan jarinya diatas meja, tatapannya tertuju ke arah potret seorang wanita cantik yang tengah memangku bocah imut dilayar ponselnya. Harun mengedip-ngedipkan matanya, ada rasa yang ia sendiri tak bisa ungkapkan. Perasaannya sungguh bahagia ketika mengingat moment dengan perempuan yang masih begitu penting dalam hidupnya. Ada rasa berdebar ketika bertemu, ada rasa rindu menyeruak dalam dada. Sudah dua minggu Harun tidak bisa bertemu, karena kesibukannya yang padat. Ruang untuk bertemu Shafa kian terbatas, Harun sangat sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk yang ia tak tahu kapan akan selesai. Jujur saja Harun tak mampu memendam rindu, namun untuk menanyakan kabar Shafa lebih dulu Harun masih gengsi.

Tok
Tok
Tok

"Masuk," ujar Harun yang masih fokus menatap potret itu dilayar ponselnya tanpa melihat kehadiran wanita paruh baya yang tengah berdiri dihadapannya.

"Oh jadi gini kelakuan kamu!" Halisa berkata dengan lantang dan menatap Harun dengan tatapan garang. Harun mendongak, tatapannya terkesan datar menatap perempuan bergelar ibu didepannya.

"Mama ada perlu apa?" Tanya Harun berdiri dari duduknya dan menghampiri Halisa yang bersedekap dengan sorot mata tajam.

"Mama kangen kamu, dan kamu disini enak-enakan cuma kerja. Emang gak ada kangen-kangennya sama orang tua?!" Halisa duduk disofa namun tatapannya mengarah ke Harun.

"Satu bulan kamu gak pulang, kamu udah lupa sama orang tua kamu sendiri? Teganya kamu sama mama, kamu anggap mama ini apa Harun?!" Hardik Halisa, ada rasa marah dan kesal dalam diri Halisa untuk putranya ini. Sudah pergi dan tak ada kabar.

"Bukan Harun lupa ma, Harun sibuk!" Harun duduk diseberang Halisa.

"Sibuk apa hah? Sibuk nemuin perempuan itu?! Kamu itu anak durhaka ya, mama gak habis pikir sama kamu Harun! Kamu lebih menentang keinginan mama demi perempuan kayak gitu?" Halisa menghela nafas sebentar.

"Mama gak suka ya kamu masih berhubungan sama dia, sudah mama jelaskan sama kamu berulang kali kalau dia bukan perempuan yang baik. Kamu masih ngeyel dan gak percaya perkataan mamamu ini, kamu sudah dibutakan cinta," Harun masih bersabar menghadapi kemarahan Halisa, ada rasa memaklumi lebih tepatnya. Bagaimanapun Harun tak bisa menyalahkan Halisa, bahkan baikpun percuma karena kalau sudah benci maka sudah buta mata hatinya. Orang kalau sudah benci ya memang gitu, kita baikpun masih saja salah menurutnya. Harun sangat paham dan ia tidak bisa mengubah sudut pandang Halisa kepada Shafa.

"Mama gak usah ngejelekin Shafa terus. Ini bukan salah Shafa, tapi salahkan hati Harun yang gak bisa berpaling ke perempuan lain. Shafa gak salah, salahkan anak mama ini yang gak bisa move on darinya," Harun menunduk, Halisa semakin geram mendengar penuturan putranya.

"Itu karena kamu dipelet sama dia, sadar dong!" potong Halisa cepat, darahnya mendidih menahan amarah dan kesal mengingat sosok mantan menantunya.

"Stop ma, Harun capek harus ngedengerin kebencian mama yang gak hilang-hilang. Kalau mama kesini cuma mau nyari ribut, maaf Harun sibuk banget. Harun harus kerja, bukan meributkan hal yang tidak penting seperti ini. Mohon maaf jika Harun bersikap tidak sopan kepada mama, Harun akui itu salah. Tapi tolong jangan jelek-jelekin ibu dari anakku lagi ma, meskipun mama tidak suka bukan berarti mama bebas membicarakan hal seperti ini. Maaf, kali ini Harun gak bisa ikutin kemauan mama lagi. Harun sudah salah mengambil langkah, namun kedua kalinya Harun tidak ingin merasakan kegagalan lagi. Jika mama kesini berniat merubah pemikiran Harun, mama harus tahu bahwa Harun semakin yakin untuk kembali. Sejauh apapun mama tidak menginginkan, namun Harun tidak bisa mewujudkan apa yang mama mau. Mama memang penting dalam hidupku, namun kebahagiaanku juga sangat penting," Harun menjauh dari Halisa dan membalikkan badan.

Halisa semakin geram, ia lantas keluar dengan marah sambil membanting pintu dengan kasar sampai terdengar bunyi cukup  keras.

Harun menghela nafas kasar, matanya tertutup. Beberapa kali Harun menghirup udara sebanyak mungkin dan menghempaskannya perlahan.

"Mama gak ngerti perasaan Harun, mama masih gak puas sudah bikin hidup anak mama ini hancur," batin Harun, Harun membuka matanya. Laki-laki berwajah tampan itu lantas kembali duduk. Harun menyugar rambutnya ke belakang, frustasi.

Tbc
Waduh, serem juga ya punya mertua kayak Halisa ini. Huft, maaf kalau aku telat update, aku harap kalian suka dengan cerita yang aku tulis ini.
Dipublikasikan oleh TansahElingdd diwattpad pada tanggal 25 Januari 2023

I love you Shafa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang