Part23

65 2 0
                                    

Mohon untuk tidak copy paste! Hargai sesama penulis!

Assalamualaikum semua, apa kabar? Ada yang sudah dapat feelnya belum? Maaf sering telat up🙏aku harap kalian tetep stay ya. See you

Akbar pulang dengan berjalan kaki, sepanjang perjalanan pemuda tampan itu tak berhenti mengulas senyum. Pertemuan dengan Shafa tadi masih membekas diingatannya. Diajak makan malam saja ia sudah begitu senang, apalagi diajak ke hal serius? Pasti tanpa pikir panjang Akbar langsung setuju.

Akbar melangkah dengan santai ketika lagi-lagi suara bariton laki-laki yang begitu familiar terdengar menyapanya. Akbar berbalik badan, tatapannya berubah tak bersahabat menatap cowok tampan didepannya yang tampak cengengesan menatapnya.

"Tumben pulang malem?" Hamzah menghampiri Akbar, ia tidak sengaja bertemu teman kerjanya itu karena disuruh membeli minyak goreng oleh ibunya diwarung deket rumah.

"Ngapain elu nanyain gue? Kita bukan temen yang harus akrab sampai tanya kenapa gue pulang malem!" Akbar menyahut dengan kata sinis. Akbar menganggap Hamzah adalah saingannya mendapatkan Shafa.

"Wis, galak amat abang. Kan eneng jadi takut bang," sahut Hamzah dengan suara dibuat seperti suara perempuan dengan gaya yang lenggak lenggok sengaja menggoda Akbar.

"Pantes lu emang gaya gitu!" Sindir Akbar melirik tajam Hamzah. Sementara Hamzah hanya tertawa ngakak karena Akbar selalu marah kepadanya entah apa kesalahan yang dibuat Hamzah kepada Akbar. Sampai pemuda itu begitu tidak menyukainya.

"Loe jadi cowok sensi banget setiap liat gue. Merasa kalah saing ya? Jujur aja kalau gue emang lebih mempesona dimata kaum hawa ketimbang elu! Makanya elu iri sama gue kan?" Todong Hamzah menatap Akbar menahan tawa.

"Ngapain gue iri sama lo?" tunjuk Akbar tepat di wajah Hamzah.

"Loe juga gak ganteng banget, biasa aja tu. Berasa paling ganteng sedunia aja!" imbuh Akbar tak mau kalah.

"Gue ganteng Bar, elo aja yang buta sampai gak sadar betapa gantengnya cowok yang berdiri dihadapan loe ini!" Hamzah membusungkan dada didepan Akbar.

"Iya ganteng, elu sendiri yang bilang. Kalau orang lain mah bilang kagak! Elu aja yang narsisnya tingkat tinggi sampai memuji diri sendiri!" cela Akbar terus terang seraya menatap Hamzah.

"Zah, Hamzah! Mana itu anak! Disuruh beli minyak goreng didepan malah kelamaan!" teriakan nyaring perempuan terdengar menggema ditelinga Hamzah dan Akbar. Hamzah segera lari terbirit-birit memasuki dalam rumah karena kalau sampai emaknya marah bisa gawat. Gak ada yang bisa melawan emak-emak kalau lagi marah, bisa berabe nanti. Akbar yang melihatnya sampai terkekeh melihat tingkah Hamzah yang sibuk mencari ribut dengannya sampai lupa dengan urusannya.

"Dasar aneh!" Gumam Akbar lantas berlalu dari hadapan rumah Hamzah.

-
-
-

Akhirnya setelah melewati beberapa rumah demi rumah, Akbar telah sampai didepan kosnya. Akbar membuka sandal yang dikenakannya lalu membuka kenop pintu, pintu terbuka. Tatapannya langsung tertuju ke arah Feri yang tengah tertidur lelap dengan mulut menganga serta dengkuran keras yang terdengar. Akbar segera menutup pintu dan melangkah menghampiri Feri. Ia lantas merebahkan diri dikasur tipis tepat disebelah sahabatnya itu.

"Kapan gue bisa halalin kamu Shafa? Kamu cuek banget. Aku kesulitan mendekati kamu, tiap hari aku berdoa semoga kamu jadi jodohku," gumam Akbar memandangi langit-langit kamar, pikirannya tiba-tiba mengingat Shafa. Wajah bulat dan cantik perempuan pujaannya masih terlintas dibenaknya. Akbar tak akan lupa perjumpaan pertama hingga akhirnya hatinya memilih Shafa. Tidak akan ada yang tahu rencana Tuhan untuk setiap umatnya. Akbar pun bingung kenapa ia menolak perjodohan dengan gadis sholehah seperti Sakinah dan malah memilih memperjuangkan Shafa yang sebenarnya telah memiliki anak dari pernikahannya terdahulu.

"Aku akan berjuang, sebelum kamu jadi milik orang. Aku bebas mencintai kamu, selama statusmu masih single," batin Akbar. Akbar melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Akbar ingat kalau sejak tadi sahabatnya itu belum makan malam.

"Fer, feri!!!! Bangun Fer!!" Suara Akbar meninggi lima oktaf, Feri mengerjap, menggerakkan netranya beberapa saat lalu membuka matanya. Tangannya mengusap-ngusap telinganya karena suara nyaring Akbar tepat didekatnya.

"Gila! Lo Akbar! Bisa-bisanya loe bangunin gue kayak gitu?! Pake cara yang lebih elegan kan bisa! Tanpa harus teriak dikuping gue, bisa-bisa ini kuping jadi budek karena diteriakin elu! Kenapa gak sekalian aja elu pinjem speaker masjid biar gue budek sekalian!" cerocos Feri tak terima, Feri beringsut. Wajahnya terlihat kesal melirik ke arah Akbar yang tampak terkekeh seperti tak merasa bersalah.

"Lebay banget lu fer, masa! Denger suara teriakan gue aja bikin kuping lu jadi budek?" sahut Akbar melirik Feri dengan tatapan mengejek.

"Untung gue bisa ngendaliin diri, kalau gak? Udah gue gibeng lo!" ujar Feri mengancam, sengaja menakut-nakuti sahabatnya.

Akbar hanya tertawa mendengar perkataan Feri.

"Mending loe cepet bangun, karena kalau kemaleman keluarnya nanti sulit cari tempat makan yang buka dimalam hari. Ini pedesaan bukan kota Jakarta yang rame," ujar Akbar segera bangun dari tidurnya dan melirik Feri yang melengos melihatnya.

Feri bangun dari tidurnya, pemuda itu mengucek-ngucek matanya sebelum beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya.

Beberapa menit berlalu, Feri kembali dengan wajah lebih segar dan rambut yang dibasahkan sebagian.

Akbar dari tadi diam saja memperhatikan tingkah Feri, Feri menuju lemari kecil diujung ruangan, kepalanya menoleh ke arah Akbar.

"Gue pinjem bajunya ya?!" ujarnya membuka lemari.

"Ambil aja, tapi nanti setelah minjem loe jangan lupa cuci baju gue," sahut Akbar. Feri berdecak meskipun tatapan matanya tengah mencari baju yang pas untuknya dipakai, namun tak dapat menutupi rasa kesalnya.

"Pasti ada ujung-ujungnya," keluh Feri pelan namun dapat ditangkap telinga Akbar.

"Menurut loe gimana? Pinjem baju orang dan elu yang pake! Tapi setelah habis pakai elu nyuruh gue yang nyuci gitu?! Udah pinjem malah seenaknya," ujar Akbar kesal.

"Ya...ya...gue cuma pinjem sama elu, tapi gak gitu juga kali!! Kalau gak ikhlas mah bilang aja!" ucap Feri.

"Bukan gak ikhlas, tapi ada adab pinjem baju orang bro. Jangan seenaknya aja lu!" balas Akbar. Memang Akbar kalau berdua dengan Feri tak pernah akur.

"Gue cuci kok!!" Feri berteriak sambil menatap tajam Akbar.

"Bagus, itu baru bener!" Akbar memberi jempol tangan seraya tersenyum lebar.

Tbc

I love you Shafa (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang