"Kamu akan tahu sendirinya nanti." Brian tersenyum tak bersalah.
Amara hanya menatap Brian dengan mulut terbuka. Setelah menunggu untuk jawabannya. Dan Brian tidak memberitahu apapun?
"Ehemmm... Aku tak mengatakan hal bohong. Kamu memang akan tahu nanti." Brian meyakinkan Amara.
"Sudahlah aku kesal denganmu. Ingat jika lain kali hanya ingin membuat penasaran orang jangan katakan." Amara memelototi Brian dengan galak.
Galak hanya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Ayo lanjutkan latihannya." Ajak Amara meregangkan tubuhnya ke kiri dan kanan.
"Tidak lelah?" Tanya Brian.
"Tidak, aku harus kuat dengan cepat." Balas Amara dengan tatapan penuh ambisi.
"Baiklah... Baiklah... Sepertinya Nicholas benar benar tepat memilihmu. Kamu sama dengannya yang ambisius." Kata Brian, Amara hanya membalas dengan dengusan sebal karena disamakan dan berjalan ke arah alat olahraga yang dia gunakan untuk berlatih.
Kali ini Brian tidak hanya duduk dan melihat Amara. Tetapi berdiri di samping Amara sembari memberikan beberapa arahan agar dapat melakukannya dengan baik.
Amara menyelesaikan pelatihannya saat matahari terbenam di ufuk barat. Brian menatap penuh perhatian ke arah Amara.
"Istirahatlah dengan baik, besok kamu melakukannya dengan santai saja. Jika dijalankan dengan keras kasihan untuk tubuhmu." Nasihat Brian.
"Terimakasih." Balas Amara tersenyum tipis. Amara berpamitan untuk kembali terlebih dahulu ke kamar. Briansempat menawarkan untuk mengantar, hanya saja ditolak oleh Amara. Karena Amara mengingatnya cukup baik jalan dari tempat pelatihan menuju ke kamarnya.
Amara melihat Nicholas yang tengah bersandar di depan kamarnya dengan wajah cukup lelah.
"Awas, aku ingin masuk kedalam." Ucap Amara dengan nada ketus.
"Latihan?" Tanya Nicholas yang masih tetap di tempatnya.
"Aku sudah berlatih dengan keras hari ini. Aku sungguh sangat lelah bisakah kau bergeser jangan halangi jalanku." Amara benar benar menyerah kali ini tidak ingin berdebat.
"Obati aku." Perintah Nicholas.
"Obati? Apa kau tidak bisa melakukannya sendiri. Awas aku benar benar lelah." Tolak Amara.
Nicholas membalikan badannya untuk memperlihatkan punggungnya yang sudah dipenuhi dengan warna merah darah. Dinding yang dia sandari pun basah dengan darah.
"Ap.. Ap.. Apa yang terjadi. Kenapa punggumu berdarah?" Tanya Amara tidak percaya melihat darah memenuhi punggung Nicholas.
"Obati aku." Perintah Nicholas sekali lagi.
Amara kali ini tidak berani menolak. Jika Nicholas mengalami hal buruk Amara akan ikut terseret karena tidak mau membantu mengobati.
"Masuklah, aku akan mengobatimu." Amara membuka pintu dan memberi jalan untuk Nicholas masuk. Amara segera pergi ke kotak obat yang menggantung disamping pintu kamar mandi.
Nicholas sudah duduk di sofa yang disediakan di kamar Amara dengan tenang.
"Ubah warna kamar." Ucap Nicholas menatap ke sekeliling kamar Amara.
Amara mengambil posisi duduk di samping Nicholas. Tanpa memperhatikan perkataan Nicholas sebelumnya.
"Buka bajumu, aku perlu membersihkannya terlebih dahulu." Ucap Amara menyuruh Nicholas membuka kemeja yang dikenakannya. Setelah kemeja terbuka seluruhnya. Amara melihat dengan kaget karena luka dipunggung Nicholas besar dan cukup dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMARA
RandomSemua Tangis dan Luka bayaran untuk Harapan. Penghinaan, Penyiksaan, dihancurkannya harapan, menjadi sebuah ujung tombak yang menembus dalam di hati Amara. Banyak jalan cerita menceritakan kebahagian dalam keluarga. Banyak dongen anak anak yang me...