7.

936 210 52
                                    


Bintang menepis kalimat singkat yang membuat satu ruangan terdiam tadi pagi,

"Saya calon suaminya.."

Hanya kalimat 'kepepet' bukan apa apa, tapi kenapa rasanya sulit untuk tidak 'kepikiran'. Ia bahkan enggan bicara apapun pada Bumi meski secara tidak langsung pria itu telah membantunya.

Ia langsung beranjak ke kamar asrama tepat saat keadaan mulai damai, dibanding fakta bahwa ia baru saja di khianati 'lagi', Bintang lebih menerawang pada segala sesuatu yang dirasa semakin hari semaki kelewatan batas.

Tentang kondisinya detik ini, tentang orang orang terdekatnya yang berubah, dan tentang Bumi. Wajar saja baginya untuk merasa semua ini terlalu canggung, perkataan Bumi dan konsekuensi setelahnya terus menghantui.

Ia tak tuli untuk mendengar desas desus baru tentang ia dan kedua pria yang berdebat di rumah ustad, tak juga buta untuk melihat tatapan lain orang orang.

Itu sebabnya ia benci, itu sebabnya ia tak suka berada disini..!

"Teteh.."

Qila datang tepat saat ia akan pergi ke kamar mandi dan berniat 'menyiram' seluruh kalut itu dengan air dingin. Wajahnya nampak sulit ditebak, tapi berada disini beberapa waktu membuat Bintang dapat mengerti.

"Dipanggil Ustad.."







...

Situasi sulit ia hadapi beberapa waktu terakhir, tapi ia bertanya tanya mengapa semuanya menjadi semakin sulit. Kala duduk di pendopo dan berhadapan dengan sosok pria yang baru saja membuatnya tertegun, Bintang entah berapa kali menghela nafas kasar.

Ustad ada sebagai penengah, lalu telfon masih bertengger di depan telinga, ada tatapan dalam yang mengintimidasi, wanita itu mengangguk sebelum memberikan ponsel pada ustad.

"Apa yang mama kamu bilang?"

"Om-.. maksudnya ustad, pasti udah tau lebih dulu"

Suara Hela nafas sang tetua terdengar, ia diam sejenak sebelum berhati hati bicara dengan remaja yang hormonnya sangat tak stabil saat ini.

"Semua keputusannya tentu ada di kamu.."

Bintang menutup mata rapat rapat, membiarkan hembus nafasnya keras berhembus, kepalan tangan dirasa tak cukup kuat untuk membuat jemarinya memutih, wanita itu diambang frustasi.

Tentang sikapnya belakangan, tentang dirinya yang bersusah payah menghindar dari jangkauan orang terdekat, dan tentang usahanya meminta pertanggung jawaban dari Devan. Alasannya lebih dari sekedar tersinggung akan perkataan dan perilaku orang orang sejak kemarin. Bukan juga karna perkataan Bumi yang menohok hatinya, tapi..

"Win win solution gitu? Dipikir ini solusi yang saling menguntungkan begitu?"

Bumi perlahan memundurkan kepala kala tatap tajam Bintang membuatnya canggung.

"Bukan.. ini itikat baik yang ditawarkan-"

"Jadi karna aku ngelakuin kesalahan, hamil diluar nikah dan gak bisa apa apa, aku gak bisa milih? Aku harus ngikutin rencana ini iya kan? Kalian maunya gitu kan?!"

"Bintang..bukan begitu.."

Wanita itu lagi lagi mengintimidasi nya lewat tatap tajam, menumpahkan segala lelah dan kecewa yang selama ini ditahan.

"Coba kamu mikir! Kamu bukannya paham agama?! Kamu pikir pernikahan itu main main! Emang pernikahan itu bisa coba coba?!"

Itu tentang hal yang ia ketahui hanya dari desas desus, tentang hari dimana ia menemukan Bumi duduk bersama orang tuanya, ia tau ada suatu hal yang mereka bicarakan.










📌 UNPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang