18. Mau mau aja

66 7 0
                                    

"Jadi, hukuman saya apa, Ustadz?" Liana duduk bersila di luar kelas, masih dengan wajah aut autan.

Nata menyilangkan kedua lengan di depan dada, "Hafalin Al Kahfi dari ayat sebelas sampai dua puluh. Juga, kamu murojaah hafalan hari ini."

"Oalah, gampang!" Liana bernafas lega seraya menyenderkan badan di tembok, kemudian, ia tersentak dan menatap lekat kedua netra Nata, "Ustadz! Nyambung yang kemaren!!?"

Liana mendapat anggukan dari Nata. "Atuh jangan, Ustadz. Kebanyakan," ujar Liana.

"Mau saya tambahin ngafal sambil pelajari tajwidnya?"

Liana merajuk, "Nggak! Udah ga usah. Saya ambil opsi pertama aja."

Nata memutar bola mata, "Tadi bilangnya kebanyakan, tapi mau mau aja."

"Semangatin dong," Liana berkacak pinggang sebelah, "nyuruh doang."

Gantian Nata yang berkacak pinggang, dan menunjuk Liana, "Kan kamu yang cari masalah."

Mau menantang, tapi itu benar adanya. "Ya bener, tapi saya lagi nggak semangat hafalin."

"Mau saya semangatin gimana? Apa kamu mau saya lempar lembing biar kamu semangat?"

Liana mengeluh mendalami peran, "Aduh, saya lesu, lemah, lunglai, mau pingsan, ngga ada tenaga nih. Nggak semangat pokoknya."

Kepala Nata miring menatap Liana, "Kalau gitu saya harus gimana? Tengkurep, guling guling, apa kayang?

"Irghh," Liana geram memutar bola mata, "kue coklat."

"Besok."

Liana terkesiap, "BENERAN, USTADZ??"

"Iyaa," balas Nata simpel.

Perkataan Nata singkat, tetapi membuat Liana menanti nanti, Liana kegirangan setelah mendapati Nata menampilkan sederet gigi putihnya sambil menggeleng kepala sebelum masuk kelas. Jikalau begitu, Liana bakal semangat menghafal dan murojaah. Liana jadi tidak sabar ingin memakan brownies pemberian Nata, jadi selezat apa jika Ustadz favorit yang memberikannya.

♡♡♡

Liana berangkat sekolah Tahfiz berjalan kaki, karena sepeda lipatnya bocor sehabis ia pulang malam tadi. Semalam Ustadz Nata ban nya bocor, sekarang Liana juga kena. Jarak dari rumah cukup jauh, sehingga Liana benar benar harus menghitung waktu. Fadil tidak sekolah, tiba tiba saja bocah itu merasa tidak enak badan. Di perjalanan, Liana melamun hingga penglihatannya kunang kunang, tetapi ia tidak pusing, ia masih sadar ia dimana.

Aww!!

Kaki Liana tiba tiba tertusuk paku tagaran, padahal sendal jepitnya masih bagus dan tebal, tetapi bentuk paku itu panjang hingga menusuk telapak kaki Liana cukup dalam. Liana meringis kesakitan, tidak tahu tempat ia langsung terduduk, itupun terhempas ke tepi jalan. Ingin menelpon Dahlia, handphone tertinggal di rumah. Liana tidak bisa apa apa lagi selain ya Allah.

Disaat Liana ancang ancang minta pertolongan, kenapa komplek mendadak sepi, padahal kalau jam segitu, biasanya ramai santri lain pergi sekolah. Tidak bisa mengira apa Liana terlalu awal datang atau sudah terlambat. Ia panik ketika melihat kaki berlumuran darah bahkan sendal jepit yang mulanya putih bersih jadi warna merah.

Bersamaan dengan itu, Liana menahan rasa sakit dengan mengepalkan tangan, ia berusaha berdiri tapi tak bisa. Liana berakhir terdiam di tempat, melihat kondiri kaki yang semakin lama semakin darahnya keluar banyak.

"Yahh, bedarah ya Allah."

Dari kejauhan, terlihat seorang wanita mengemudi mobil yang kacanya tembus pandang. Mobil tersebut menepi, ketika kaca mobil terbuka, ternyata Ustazah Indah.

"Liana, kaki kamu kenapa berdarah sayang?"

Liana pasrah merasakan sakit, matanya sedikit berair, "Ini Ustadzah, ketusuk paku tageran."

"Ayo kita ke sekolah, kamu masih bisa kan berdiri?"

Pelan pelan Indah merangkul Liana sampai duduk di mobil lantas menuju sekolah walau ia mulai mual mual. Liana sangat bersyukur kalau yang datang menolong Ustazah Indah, karena beliau terkenal sangat ramah pada semua santri. Ia mulai menyesali perbuatannya sendiri, andai kala itu tidak melamun dan fokus ke jalan, mungkin ia bisa menghindari paku tersebut.

Usai di parkiran, Liana kembali di rangkul Ustazah Indah sampai ke ruang kosong di sebelah kantor, yang disana tersedia kotak P3K. Liana mengeluh kesakitan, ia meluruskan kaki dan memijat bagian lutut. Ustazah Indah dengan sigap memakai sarung tangan dan masker, bersiap untuk mencabut paku yang menancap di sendal tembus ke telapak kaki Liana.

"AAAAA!!!"

Jerit Liana saat Ustazah Indah mencabut paku tersebut dengan pelan, setelah tercabut darah di kaki Liana makin banyak, lantai sudah terlihat bercak bercak darah mulai dari luar ruangan. Ustazah Indah dengan keluwesannya dapat menghentikan pendarahan dan memperban cepat. Liana salut Ustazah Indah semengagumkan itu. Usai di perban, mereka berdua bernafas lega, keduanya bersandar pada dinding.

"Ustazah, terimakasih banyak, kalau ga ada Ustazah, Liana bingung harus minta tolong ke siapa lagi."

Indah tersenyum, "Minta tolong sama Allah, percayakan semuanya hanya pada Allah. Bantuan datang berupa macam macam, kalau saya gak lewat, mungkin yang lain bisa menolong."

"Kita gak bisa menentang takdir karena dari kita lahir sampai sekarang semuanya sudah Allah yang atur. Bagaimanapun kita tidak bisa menghindari kalau Allah berkehendak."

Liana meneguk ludahnya dalam dalam setelah mendapat pencerahan dari Ustazah Indah. Sungguh wanita cantik satu ini mengalihkan dunia, tatapannya teduh, tutur katanya lembut, dan jika di dekatnya senantiasa nyaman dan adem, ia memancarkan energi positif bagi siapapun yang memandangnya.

Tok tok tok!

"Ustazah Indah, dipanggil Ustadz Wahid."

Ustazah Indah memegang bahu Liana sebelum berdiri, "Tunggu sebentar ya, saya dipanggil Ustadz Wahid, nanti saya kesini lagi."

Belum lagi Indah melangkah, tangannya ditahan Liana, "Liana udah gapapa kok, Ustazah. Santai aja, udah gede gini masa ga bisa nahan sakit. Liana langsung ke kelas nanti, jangan khawatir."

Indah berjongkok, mensejajarkan kepalanya dengan kepala Liana, "Beneran bisa jalan ke kelas?"

Liana mengangguk, "Bisa kok Ustazah."

"Yasudah, Ustazah keluar dulu ya. Kalau sakit jangan dipaksain masuk kelas istirahat aja dulu sayang ya, Assalamualaikum!"

"Walaikumusalam."

Liana menyandarkan kepala ke dinding, lalu netranya menatap ke flapon berwarna putih tulang. Liana jadi tahu kenapa Nata selalu haha hihi bersama Ustazah Indah, beliau sangat mengagumkan. Siapa yang tidak suka kalau sifat dan sikapnya sangat anggun, serta senyumannya menyejukkan hati. Lelaki mana yang tidak betah jika mendapat Ustazah Indah, lawan bicara yang sangat lembut pada siapapun.

Air mata Liana jatuh lagi, ia merasa egois pada dirinya sendiri, ia menginginkan Nata tetapi sepertinya di dalam hati lelaki itu, Ustazah Indah lah yang menempati ruang hati Nata. Liana tahu konsekuensi mencintai dalam diam dapat menimbulkan patah hati terdalam. Liana menangis sebab Ustazah Indah sangat baik, bahkan ketika dipanggil Ustad Wahid pun masih sempat menanyakan keadaannya.

Liana tidak kuasa menahan air mata, tangisnya pecah. Ketika ia merasa lebih baik merelakan Nata dengan orang lain, daripada dengan dirinya. Liana ikhlas jika wanita itu memang Ustadzah Indah, karena mereka memang sudah seharusnya menjadi pasangan. Berbanding balik dengan Liana, iman masih berantakan ada nyali menyukai Nata, lelaki yang susah digapai.











Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang