19. Salah paham

68 8 0
                                    

Nata terkejut dan langsung menuju UKS, tak lupa dengan kantong kresek hitam berisi sekotak kue brownies. Tiba tiba saja Nata mengkhawatirkan gadis pencari masalah itu, tak tahu kenapa ia panik sendiri, takut gadis itu kenapa napa. Membuka pintu, ia bernafas lega, Liana menghafal sambil memejamkan mata, melihat cara ia menghafal tersendat sendat, senyuman Nata terbit.

Nata mendekat, membuat Liana terperanjat. "Pake salam, Ustadz! Nongol tiba tiba kaya hantu."

Nata lebih terkejut mendengar lontaran pedas dari mulut Liana, "Orang ganteng gini mah, bukan hantu!"

Nata meletakkan keresek hitam itu di meja samping ranjang, "Nih! Kue yang kamu mau, yang katanya bikin semangat."

"Hah, Ustadz beneran beliin saya kue!!?" Liana langsung mengambil kresek itu lantas membukanya, ia mengambil kotak berisi kue coklat, brownies kesukaan Liana. Mata Liana berbinar saking senangnya.

"Terimakasih banyak, Ustadz! Saya kira kemaren Ustadz cuma bercanda, taunya beneran." Liana cengar-cengir sendiri.

"Ya sudah, kalau gitu, saya ke kelas dulu. Kalau kaki kamu nggak sakit lagi, silahkan balik ke kelas, ya?" Titah Nata memperingati.

Liana hormat, "Siap, Ustadz Nata! Laksanakan!"

Liana menatap nanar punggung Nata, ia meletakkan sekotak kue brownies itu di atas nakas, berencana membawa pulang dan memakan seorang diri tanpa bagi bagi. Ia pelit kalau soal brownies.

Kenop pintu terbuka, badan Liana tegak dibuatnya. Ternyata Ustadzah Indah datang mengecek keadaan Liana. Kotak kue tanpa kresek itu menarik perhatian Indah, dan ia pun bertanya, "Apa ini?"

"Kue brownies, Ustadzah."

"Ooo," Indah mengangguk, "dari siapa?"

"Ustadz Nata."

Indah mengerjab, "Dari Ustadz Nata!? Serius?"

"Iya serius."

"Ini buat saya?"

Liana tersulut emosi, ia menggeleng dan berkata, "Buk-"

"Pasti buat saya kan? Saya tau, Ustadz Nata pasti mau ngasih ke saya tapi beliau malu. Emang ya, Ustadz Nata itu gemesin, pantes belakangan ini cuek sama saya, rupanya malu hahaha."

Dengan pedenya Indah berkata seperti itu, padahal itu milik Liana, bahkan belum ia makan sepotongpun. Indah mengangkat kotak kue itu lantas berkata sebelum melenggang pergi, "Bilangin terimakasih hadiahnya. Saya sibuk, mau lanjut kerja."

Ekspresi wajah Liana berubah tidak suka, "Ustadzah! Kue itu punya-"

Sambil berjalan keluar Indah berkata, "Biasanya hadiah dari Ustadz Nata kaya gini, jadi, ini pasti untuk saya."

Ceklek

Liana meremas ujung hijabnya geram, emosinya meletup-letup, itu kue untuknya, bukan untuk Indah. Liana kesal karena kue itu belum sempat ia cicipi, bahkan segel kotak itu belum ia buka. Liana kesal bertubi-tubi. Jika saja itu bukan kue brownies, mungkin Liana bisa memberikannya.

♡♡♡

Indah sangat girang karena fikirnya, Nata kembali seperti dulu, yang setiap minggu memberi hadiah untuknya. Ia taruh kotak itu di atas meja, lalu duduk dan mengambil laptop dari dalam tas. Sembari mengerjakan sesuatu, tangannya mencomot kue brownies sambil tersenyum penuh kemenangan. Memakan hingga tersisa setengah kotak.

Nata balik ke kantor, ketinggalan buku absen lagi. Baru masuk kantor, Ustadzah Indah menarik perhatian. Bukan Indah yang ia perhatikan, namun kotak kue di atas meja di samping laptop Indah.

Itu kan, Nata membatin, kue yang buat Liana.

Indah tertunduk malu ketika Nata melaluinya. Ia fikir, Nata akan senang melihat ekspresinya sekarang, padahal mah, Nata bergidik ngeri. Setelah mengambil buku absen, Nata kembali ke kelas dan terkejut melihat Liana dengan wajah pucat duduk di kursi. Ia menumpukan pipi pada lengannya, seperti malas melihat wajah Nata yang tampan itu.

Melihat wajah Liana seperti itu, Nata penuh tanda tanya. "Ada yang nggak beres, nih."

Pulang sekolah, Nata cepat cepat membereskan diri dan ingin segera menemui Liana. Ia lega ketika melihat Liana berjalan bersama Haura dengan kaki terpincang-pincang. Nata berjalan cepat mendatangi Liana.

"Liana!"

Pemilik nama menoleh ke belakang, "Ustadz?"

"Saya mau tanya sesuatu."

"Ada apa, Ustadz?"

"Kamu udah makan kue coklat yang saya kasih?"

Haura yang tak jauh dari tempat mereka mengobrol langsung menutup mulut dengan tangan. Liana terdiam seribu bahasa, lidahnya kelu untuk berbicara.

Berusaha Liana berbicara walau tertahan, "Be-belum."

"Terus, kuenya kemana?"

Liana mengalihkan pandangan ke satu titik, Nata juga langsung memandang objek yang Liana maksud. "Ustazah Indah? Kamu kasih kuenya ke Ustazah Indah?"

Liana terdiam lagi. Lalu Nata mengomel, "Saya beliin buat kamu. Kenapa dikasih ke dia!!?"

"SAYA NGGAK NGASIH KE BELIAU. BELIAU YANG NGAMBIL TIBA TIBA!"

Nada suara Liana mendadak tinggi saking emosinya.

"Terus?"

Liana menghela nafas, berusaha mengontrol diri, "Ustadzah Indah bilang kalau kue itu hadiah dari Ustadz untuk beliau. Beliau bilang, pasti kue itu untuknya. Pasti."

Nata menepuk dahi, kacau sudah, Indah salah paham. "Kenapa kamu nggak bilang itu kuenya punya kamu?"

Liana melanjutkan pembicaraan, "Ustadzah Indah bilang, kalau Ustadz belakangan ini cuek karena sebenernya Ustadz Nata malu mau ngasih hadiah ke beliau."

"Kenapa nggak direbut, Liana? Kenapa?"

Liana tertunduk, matanya berkaca-kaca, "Saya mau rebut! Saya mau bilang! Tapi Ustadzah Indah motong pembicaraan terus, Ustadz."

Setitik air mata Liana jatuh ke tanah, ia terisak. "Udah lah, Ustadz. Mungkin bukan rezeki saya. Saya pulang dulu."

Liana pulang mendatangi Haura yang langsung bertanya kenapa dirinya menangis. Liana menggeleng dan naik boncengan belakang sepeda listrik milik Haura. Sedangkan Nata, lelaki itu terdiam setelah perdebatannya selesai. Semua salah paham, kenapa Indah membuat cerita buruk seperti itu, padahal hadiah itu niatnya memang untuk Liana.

♡♡♡

Nata menautkan kedua jemari ketika Adrian serta Dahlia menatapnya intens. Pertemuan mereka diam diam, Ummi dan Abi juga ikut hadir melanjutkan ta'aruf tanpa sepengetahuan Liana. Kedua keluarga sama sama berinteraksi santai, hanya Nata yang banyak diam, di kepalanya bersarang sesuatu.

Ummi menyenggol lengan Nata, "Abang, kok ngelamun dari tadi?"

"Mikirin apa, Bang?" tanya Abi mewakili isi hati Adrian serta Dahlia.

Meskipun berat, tetapi Nata berusaha jujur. "Liana kayaknya ngambek sama Abang."

"Ngambek?" Mereka berempat spontan menjawab, bikin jantung Nata olahraga, udah kaya disidang ia yang jadi tersangka.

Adrian menjentikkan jari, "Pantes pas pulang kemaren si Kaka marah marah nggak jelas, rupa nya ini toh penyebabnya."

"Liana marah, Bah?" Raga Nata bagai di hempas ke inti bumi, "serius?"

"Iyaa, dia ngedumel mulu." Lanjut Dahlia menakuti.

"Hati hati, Bang. Liana orangnya ngambekan." Ummi tersenyum jahil menoel lengan putra tunggalnya itu. Nata di buat gelisah, kedua orang tua beserta calon mertuanya sama sama menakuti. Nata takut di tolak mentah mentah.

Abi kembali menakuti, "Hayo loh, Bang. Bujuk lagi biar nggak ngambek."

Adrian menahan tawa melihat wajah takut calon menantunya, "Nggak usah frustasi kaya gitu, Nak. Kaka bakal luluh kalau kamu buatin dia kue brownies. Ya nggak, Bu?" Adrian menyenggol bahu Dahlia yang dibalas anggukan cepat.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang