36. Tampan

68 6 1
                                    

Sepasang suami istri berangkat menaiki sepeda motor menuju sekolah Tahfiz, menikmati angin yang menerpa wajah, Liana meletakkan dagu di pundak Nata, lelaki itu dibuat senyam senyum sendiri kala mata istrinya terpejam sembari memeluk perut dari belakang.

Sesampainya di area parkir, Liana mengambil tangan Nata lalu menciumnya, baru hendak melangkah, tangannya di tahan oleh Nata.

"Ingat apa yang aku bilang di rumah tadi?"

Liana menjawab malas, "Ingat."

"Apa?"

"Kalau di sekolah, Liana tetap santri dan Nata tetap pengajar."

"Bagus." Liana menghindar kala Nata hendak memegang ubun ubunnya. Ia tahu, pasti Nata ingin membuat kerudung paripurnanya hancur.

"Aku ke kelas ya, Kak." Hendak melangkah lagi lagi tangannya ditahan, "Apalagi, Kak?"

"Bilang apa kek!"

Kedua alis Liana menaik, "Bilang apa?"

"Kamu mah ngga ngerti." Nata merajuk, wajahnya cemberut.

Tanpa basa basi, Liana tak ingin Nata semakin merengek. Cup! Huh, dasar bayi besar.

Nata membeku tak bisa berkata kata, daun telinganya memerah seperti habis ditarik. Lantas Liana berlari menghindari kontak mata, istri kecilnya itu, selalu menghindar jika salah tingkah.

Tak terasa langkah Nata sudah berada di depan kantor, ia dengar desas desus santri yang berlalu, setelah masuk kantor, ia juga terkejut atas berita heboh menggemparkan.

"Ustadzah Indah katanya resign."

"Hah, yang bener?"

Nata menoleh, masih di depan meja Indah yang kosong melompong, tak ada barang barang tersisa. Setelah ia cuti, Indah langsung menghilang, ke mana dia tak ada siapapun yang tau, kepala sekolah pun juga tak tau.

Malam hari di bawah cahaya rembulan, Nata mendapat telepon dari Jefri yang berada di Tarim, teman dekatnya selagi kuliah. Karena jam istirahat, Nata memilih menyendiri agak jauh dari area parkir. Senyuman Nata mengembang setelah tahu kabar teman di Negeri sana baik baik saja.

"Kak!" muncul seseorang dari belakang, "minta uang!" Si Liana minta uang udah kaya anak SD minta uang jajan.

Nata menoleh, namun masih tersambung di panggilan. Liana ingin bicara lanjut, namun sepertinya Nata serius dengan pembahasan di telepon. Lebih baik ia menunggu daripada kena semprot suami.

"Iya, komunikasi lu bagus aja kan?" tanya Nata di telepon.

Sambil menunggu, Liana berjongkok mengumpulkan beberapa batu kecil di tangan, lantas ia mengambil tangan Nata, meletakkan batu tersebut ke dalam genggaman suaminya. Mulai dari batu kecil hingga besar, Nata tak bisa lagi menggenggam sebab terlalu penuh, lantas ia jatuhkan batu batu tersebut dan mengulurkan tangannya pada Liana, minta dibersihkan bagian kotor. Apapun benda yang disodorkan Liana tetap diambil. Bukannya membersihkan, Liana malah menaruh sampah plastik di tangan Nata, membuat Nata bergidik geli dan memutus sambungan telepon.

"La ilaha illallah! Ngapainn, bersihin nggak!?"

"Minta duit, Kak," ucap Liana memelas, "mau beli kue yang dijual Haura."

"Haura jualan?"

"Iya, kalau jam istirahat."

Nata menyodorkan tangannya yang sedikit kotor, "Bersihin dulu."

Liana mengambil tissue dari kantong bajunya, mengelap hingga bersih tanpa noda. Nata menarik sudut bibir, istrinya sungguh penurut.

Nata mengeluarkan selembar uang berwarna biru dan disambar Liana, istrinya langsung kabur tanpa berkata apapun. Nata menggeleng kepala, membuka layar ponsel, sesaat kemudian Liana kembali lagi, kali ini bukan minta duit.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang