7. Menuju Gramedia

94 10 0
                                    

Beberapa hari setelahnya, Liana mendapat kabar sohibnya, Ara, akan berkunjung ke rumahnya untuk menginap sehari. Kabar itu tentu membuat Liana jingkrak-jingkrak kesenangan, mengingat sudah lama mereka tidak bertemu, karena jarak rumah mereka beda kota.

Sepulang sekolah, senyuman terbit di bibir Liana setelah melihat sepasang sendal yang ia kenal tersusun di depan rumah. Ia tahu, Ara sudah di dalam.

"Ra!!" Seru Liana dari luar rumah, ia berlari dan langsung memeluk sahabatnya itu, yang dipeluk merasa sesak nafas.

Di sore hari, Liana bersama Ara menyegarkan fikiran. Jalan-jalan ke gramedia adalah pilihan terbaik. Kali ini, hajatnya tunai, ia membeli beberapa buku keinginannya. Begitupun Ara, bela belain bawa keranjang cuma mau membeli buku.

Mata Ara mendelik ketika menangkap suatu objek langka, seorang lelaki perawakan tinggi memakai pakaian serba hitam, tak ketinggalan dengan masker, topi serta kacamata berbentuk oval. Ara menarik lengan Liana, tangannya menunjuk ke arah lelaki misterius tersebut. Mata Liana menyipit, meneliti objek yang begitu familiar.

"Tu cowo cool banget ya, pengen gua jambret biar ada lomba balap lari," ucap Ara berbisik di telinga Liana. Hembusan nafasnya membuat Liana merinding, wajahnya langsung menatap horor.

"Lo jangan bisik bisik, merinding gua," Liana kembali fokus menatap lelaki itu, "Kayanya gue kenal dah tu cowo."

Lelaki itu sedang memilih milih di bagian novel romansa, ketika merasa gerah, ia mengangkat topi dan menyugar rambut ke atas. Tubuh Liana mendadak kaku, matanya membulat, lidahnya terasa kelu.

"It itu." Liana gelagapan.

"Siapa? Bapak lo?" Ara berkacak pinggang, "Bapak lo kaga secakep itu."

"Bego, itu Nata!!" Liana menutup mulut menyadari kesalahannya, "maksud gue, Ustadz Nata!"

Ara spontan melotot, kembali mengarahkan pandangan ke Nata. "Serius itu Ustadz Nata? Yg sering lo ceritain ke gue!?" Ara berbisik lagi.

"Duh jangan bisik, gue geli!" Liana menutup kupingnya dengan tangan, "Iya itu Ustadz Nata, dari matanya aja gue kenal itu bener bener Ustadz Nata."

"Buset, Li. Cakep banget!" Ara mengacungkan jempol.

Liana juga tak percaya, "Iya kan, ganteng banget gilaa!"

"Pantesan aja lo kepincut, orang Ustadz Nata modelnya kaya gitu. Kalau gue mah udah gue embat." Sengaja Ara memancing ingin tahu reaksi bocah plastik di sampingnya.

Liana memicingkan mata lalu mendengus. "Nggak! Dia punya gue. Kalau dia nggak mau jadi jodoh gue, yaudah gue aja yang jadi jodohnya."

Ara menghela nafas, "Maksa banget ni bocah kalau suka sama cowo."

Memantau Nata dari jauh, sangat menyenangkan bagi duo mawud ini. Ara tak bisa berbohong kalau yang diceritakan Liana memang benar apa adanya. Lelaki postur tubuh tinggi, bisa menyesuaikan outfit, menariknya lagi ia guru tahfiz, wanita mana yang tidak meluluh, sahabatnya saja sudah melebur ketika menceritakan Nata.

Kedua netra Ara berfokus pada Nata, sedangkan tangannya bergelut di bagian perkomikan. Tidak mendengar lagi bisingnya suara Liana yang sedari tadi meneriakinya minta beranjak pergi karena Nata terlihat sadar dan risih semenjak Ara memandanginya. Liana hanya takut ketahuan.

"Ra, kuping lu full budeg apa gimana, kesso!! Watashi merasa Ustadz Nata sudah tahu keberadaan kita!!"

Ara geming, ia memang sudah dibuat buta oleh pancaran aura Nata, sungguh dasyat. Ara bergumam dalam hati, tak heran jika Liana jatuh cinta, jika saja bukan Liana, Ara juga jatuh cinta dengan Nata. Sampai tiba tiba Liana menggetok kepala Ara dengan buku saking geramnya.

"Ih sakit! Apa ha?" Mata Ara melotot.

Wajah Liana seketika mundur, "Apa apa, lo nggak denger gua manggil lo tadi? Ustadz Nata udah notice kita, gua takut Ustadz Nata kenal sama gua."

"Anjir bahaya! Kita ke tempat lain aja." Ara menarik tangan sahabatnya, yang ditarik kasian, terinjak-injak kain gamis. Ara mendadak memutar badan sehingga Liana menubruk badannya tiba tiba.

"Aduh sakit!" Ringis Ara.

"Lo ngeremnya dadakan banget," gerutu Liana sembari mengusap dahi bekas terhantam lancipnya dagu Ara. Saking pendeknya tubuh Liana, tinggi badannya hanya dibawah dagu Ara. Kadang ia berfikir, orang yang tinggi tinggi cemilannya tiang listrik apa menara paris.

Samar samar, dari kejauhan, mata Liana menangkap sosok Nata dari jauh. Sosok yang sudah Liana kunci semenjak ia menginjak lantai gramedia. "Ra, gua kesana dulu. Tunggu di sini." Liana berlari, sementara Ara sibuk membaca sinopsis di bagian belakang buku hingga tidak menyadari Liana pergi menjauh.

Di sisi lain, mata Nata meneliti tiap sudut gramedia, tentang tujuannya ingin membuang hajat ke wc. Nata juga tidak bisa mengeluh pada karyawan Gramedia kalau ia hendak berak. Keringat mulai membasahi sekitaran lehernya, hawa mendadak panas. Setelah lama mencari, akhirnya tempat pembuangan hajat sudah ditemukan, mata Nata berbinar ketika melihat gambar khusus laki laki tempampang di depan pintu masuk wc.

Detik itu juga, Nata bagai memiliki kekuatan jiwa super dede, berlari secepat kilat hingga sepatu sebelah kanan terlepas entah kemana karena tali sepatu sudah lepas semenjak Nata mencari wc. Nata tidak memikirkan sepatu lagi, ia hanya memikirkan perutnya yang sakit, ketika berlari Nata cuma memegangi perut saking tidak tahannya. Tangannya membuka kenop pintu dan langsung mengunci dari dalam. Akhirnya Nata bisa bernafas lega.

Liana berjongkok mengambil sebelah sepatu Nata, ia tak bisa menahan tawa habis melihat Nata melaju bagai kilat, bahkan sampai melupakan sepatu yang terlepas. Ide mengisengi Nata muncul begitu saja di fikiran Liana, ia berjalan ke bagian deretan gantungan kunci, karena di Gramedia tidak hanya buku saja, sepeda bahkan skuter pun juga ada.

Liana mengikat tali sepatu dan menggantung ke kaitan. Gadis itu menulis sebuah kata di kertas kecil lalu ia tempelkan ke dalam alas sepatu. Sesudah melakukan aksi, Liana membeli minuman kaleng empat gelas.

Ara yang masih sibuk memilah milih buku terkejut ketika melihat Liana menyembulkan kepala di tepi rak buku. Untung saja ia reflek tidak memukul kepala Liana dengan sampul buku keras nan tebal.

"Habis dari mana lo tadi?"

Liana menyodorkan minuman kaleng, "Beli minum, aus gua. Udah belum milih buku?"

Ara mengambil minuman seraya menampilkan enam buku yang akan ia beli. Liana menatap datar, ia tak heran, namanya juga Ara, mau ia borong satu rak buku pun, uangnya tidak habis habis, Ara salah satu sahabat Liana yang berada. Mereka menuju meja kasir dan tak lama kemudian, buku sudah di susun rapi, tinggal mententeng paper bag.

Ketika di parkiran, Liana beralasan menyuruh Ara untuk jalan lebih dulu sementara dirinya menunggu di depan gerbang Gramedia, padahal niatnya mengalihkan perhatian Ara, ia tak ingin sahabatnya itu tahu kalau Liana memang tingkat bucin tolol. Liana berjalan ke satpam sembari memberi minuman kaleng dua botol.

"Kang, saya minta tolong boleh ga?"

"Ada yang mau dibantu, Neng?"

"Saya minta akang kasih minuman ini sama laki laki yang sepeda motornya itu," Liana menunjuk ke arah sepeda motor Nata, "orangnya tinggi kang, baju item topi item, kalau dia nanya dari siapa, jangan dikasih tau ya, Kang."

"Oalah, siap Neng!" Kang parkir menerima dua kaleng yang diberikan Liana dengan kedua tangan.

"Yang satu kasih ke cowo itu, yang satu buat akang."

"Terimakasih banyak, Neng."

Liana menggeleng, "Saya yang banyak terimakasih, Kang. Saya duluan, assalamualaikum."

Liana berbalik mendatangi Ara yang sudah siap dengan helmnya, ketika Liana datang, Ara refleks memasangkan helm ke kepala Liana karena itu sudah terbiasa cukup lama. Bukannya Liana manja, hanya saja Ara senang memasangkan helm pada sahabatnya. Mereka berlalu pergi, Liana masih sempat-sempatnya mendadah kang parkir sambil tertawa kecil.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang