22. Wali pengganti

72 9 0
                                    

"Saya walinya, maaf telat."

Liana yang tadinya tersenyum hambar, kini mimik wajahnya berubah seketika, ia menoleh ke samping, sudah ada seorang lelaki perawakan tinggi. Jantung Liana hendak copot, kenapa lelaki bernama Nata bisa ada di sampingnya. Para Bu guru mulai berbisik-bisik memandangi Nata dari bawah sampai atas.

Bu Vivi sekilas menaikkan kedua alis, "Liana, siapa nih?"

"Em, ini-"

"Saya calonnya," potong Nata tiba tiba.

Tentu saja para guru wanita langsung dehem deheman menatap Liana. Liana ingin menyanggah, tetapi Nata juga ikut cengar-cengir. Haduh, ia bingung mau marah atau salah tingkah. Diam diam Liana menginjak sepatu Nata, membuat wajah Nata perlahan berubah menahan sakit.

Sakit, ya Rabb. Nata membatin.

"Uuu masyaAllah diam diam Liana udah punya calon ya. Kalau nanti resepsi, undang Bu Vivi sama guru yang lain ya nanti." Bu Vivi kembali bersuara.

Nata tersenyum, "Hehe iya, Bu. Saya sama Liana masuk dulu."

Setelah Liana dan Nata masuk, yang awalnya jarak mereka sempit, menjauh seketika. Liana menghela nafas lantas memicingkan mata. "Ustadz! Kok ke sini!? Ustadz jadi wali saya?"

"Ini bukan area sekolah Tahfiz, panggil Kakak aja."

"Om."

Kedua mata Nata menajam bak mata elang, "Om? Kah aka kah aka, Kaka!"

"Om!" tantang Liana tak mau kalah.

Liana kesal sembari melipat kedua lengan di depan dada, "Om kenapa bilang aku ini calonnya Om?"

Nata memijat tengkuknya, "Maaf, reflek tadi."

Liana berhenti melangkah dan menunjuk ke arah Nata, "Om, omongan itu bisa jadi doa. Emang mau doa Om tadi di ijabah sama Allah? Ngga takut?"

Mendengar itu alis Nata mengerut, "Ngapain takut kalau di ijabah?" Ia tertawa kecil.

Liana semakin geregetan, ia ingin menjambak rambut lelaki di depannya ini. Ia menginjak nginjak bebatuan di iringi rasa geram, kalau saja yang ia injak itu kaki Nata, mungkin sudah penyok. Nata tak bisa menahan tawa melihat Liana segemas itu, semarah itu. Emang ya, Liana yang seperti ini Nata sangat suka menjahili.

"Nggak ada yang tau kedepannya kaya gimana, Liana. Bawa santai aja, siapa tau lauhul Mahfuz saya kamu. Hehe.."

"Au ah!" Ia meninggalkan Nata sendiri berjalan cepat menuju kursi khusus siswa beserta kedua pipi yang keluar semburat merah.

Nata geleng geleng kepala, padahal Adrian yang meminta tolong untuk menghadiri acara perpisahan anaknya. Jam tiga subuh, ketika Nata bangun sholat tahajud, ponsel berdering nyaring mengejutkan dirinya yang tengah fokus berdzikir. Ternyata Adrian. Daripada ia tidak ada kerjaan, mending ia setuju saja, hitung hitung dapat makanan gratis.

Naira terkagum kagum melihat Liana berjalan dengan dress cantik berwarna ungu pastel, memakai aksesoris mahkota di atas kepala. Kelopak matanya ada sedikit taburan warna pink dan bling bling, bibirnya dibuat ombre, serta alis yang di ukir tipis tipis. Tapi satu hal yang membuat Naira bingung, wajah gadis itu terlihat stress dan frustasi.

"Pagi pagi gini harusnya senyum, ini kok cemberut, senyum dong!" Naira menyapa Liana dengan lembut, padahal gadis itu masih terkuasai emosi, tetapi setelah bertemu Naira, emosi Liana padam seketika.

"Ke sini sama siapa lo?" Naira bertanya.

Liana memutar bola matanya, "Tuh," tangannya menunjuk salah seorang lelaki.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang