23. Safrah amal part 2

68 8 0
                                    

Ketika akan ada acara safrah amal di sekolah Tahfiz, lagi lagi Nata jadi ketua pelaksana. Kali ini kelas Liana ikut berpartisipasi karena didalamnya banyak anak muda si atas tujuh belas tahun. Sedikit info, di kelas, Liana yang paling muda.

Harun dan Haura sibuk mencatat bahan bahan makanan yang akan dibeli di pasar. Satu kelas sibuk bersih bersih dan mengangkat barang barang. Karena Liana tidak ingin capek, ia melarikan diri ke toilet, sudah cukup lama ia duduk di toilet berdiam diri tidak ngapa ngapain. Kemudian dua orang yang sepertinya teman sekelas Liana datang ke toilet, berdiri di depan wastafel sambil mengobrol.

"Lu ngerasa nggak? Si Liana nyari gara gara mulu, hampir setiap hari sama Ustadz Nata."

"Iyaya, dia cari muka banget, sengaja kali. Dia itu sekolah di sini mau nyari ilmu apa mau caper sih? Kayak pikmi banget nggak sih?"

"Gue nebak, Liana itu suka sama Ustadz Nata. Padahal yang suka sama beliau nggak dia aja, Ustazah Indah pun juga suka."

"Ustazah Indah juga suka? Cocok dong mereka. Daripada ngeliat Liana sama Ustadz deket, duh nggak kuat gue liatnya."

"Beda jauh Ustazah Indah sama Liana. Jelas jelas Ustadzah Indah pemenangnya. Gara gara Liana pindah ke sini, Ustadz Nata sama Ustadzah Indah ngga deket lagi."

Mendengar di balik pintu toilet, entah mengapa hati Liana sedikit tergores, ia merasa bersalah. Bukankah ia sudah merebut kebahagiaan Ustazah Indah? Wanita yang sangat sempurna itu? Kepala Liana tertunduk, ia juga tidak akan masuk sekolah Tahfiz jika Adrian membuat opsi kuliah jurusan umum.

Pikiran Liana berkecamuk, obrolan mereka serasa menghantam dada. Usai suara mereka tak terdengar lagi, barulah Liana membuka pintu dan keluar toilet. Ia berdiri di depan wastafel seraya mencuci wajah. Ia tatap wajahnya di pantulan cermin, memang benar, dirinya tak sebanding dengan Ustadzah Indah.

Keluar dari tempat wudhu area wanita, ia berjalan santai memandangi para teman sekelas yang pada sibuk. Daripada nanti capek, mending Liana melarikan diri lagi, toh ia sudah bosan merenung di toilet.

"Aaaaaa!" Teriak Liana tiba tiba sebab telinga kanannya dijewer seseorang.

"Ustadz sakit!" Siapa lagi kalau bukan Nata yang menjewer.

Nata melepaskan tangan dari telinga Liana, "Kemana aja, bantuin! Orang pada sibuk kamu malah ngilang," celoteh Nata.

Gadis yang berada si depannya itu mengusap telinga, "Tadi saya berak, Ustadz tau berak nggak!?"

Membenarkan peci lantas mengusap wajah, ia berkacak pinggang saling hadap hadapan dengan Liana. "Masak berak sampe satu jam? Berak apa semedi?"

"Abah saya berak dua jam."

Benar benar, ada saja jawaban Liana yang membuat Nata pusing, "Ayo bantuin saya," titah Nata berjalan lebih dulu. Tanpa bicara Liana menganggukkan kepala dan membuntuti Nata.

Nata menuju gudang, disana ada beberapa keranjang putih besar persegi panjang. Liana hanya diam ketika Nata membuka roomchat di layar ponsel dengan wajah serius. Sesaat kemudian, Nata menyimpan ponsel di kantong celana. Nata berjongkok dan mengangkat tujuh keranjang sekaligus, karena berat, ia terdiam sejenak.

"Kamu ngapain?" tanya Nata.

Gadis itu memiringkan kepala, "Emang saya harus ngapain?"

"Angkat! Allahuakbar!" Seru Nata serta emosi yang berkibar kaya bendera diterpa angin.

"Iyaa, jangan marah marah gitu."

Nada suara Liana memelan. Ia mendadak takut jika raut wajah Nata mulai memanas seperti itu, lebih baik dituruti saja daripada kena semprot. Sudah seimbang, Mereka berjalan perlahan keluar gudang, Nata yang memandu jalan. Beberapa orang terkejut ketika Nata melewati, tidak mungkin kan keranjang sebanyak dan seberat itu dapat diangkat satu orang, paling tidak diangkat dua orang.

"Liana?" Panggil Nata.

Liana tak menggubris.

"Hey Liana? Denger saya nggak?"

Sama seperti tadi, tak ada jawaban.

"Lah tenggelem."

"Kenapaaa, Ustadz?" Pada akhirnya Liana menjawab, ya walaupun dari nada bicara ia terdengar malas.

Nata mengulum senyum, "Ngga papa, manggil aja."

♡♡♡

Di pasar, Haura kewalahan membawa belanjaan, kelima jari sudah dipenuhi kantong kresek yang gendut gendut. Ia merasa iri dengan harun yang tidak membawa apa apa, hanya membawa catatan kertas saja, tidakkah Harun melihat Haura tengah kesulitan sekarang?

Haura kelelahan, ia berhenti sejenak, "Harun, kamu bantu angkat dong! Jangan aku doang."

Lelaki itu berbalik dengan wajah songong, "Duh males, lu aja yang bawa. Gue sibuk."

Mendengar sahutan Harun seperti itu, Haura merosot ke bawah, terduduk di tanah. "Aku nggak mau lanjut kalau kamu nggak bantuin." Nada bicaranya merajuk.

Menghela nafas, Harun berbalik dan mendekati Haura lantas berjongkok, mengambil beberapa kantong kresek yang bawaannya berat. "Pake ngambek segala," Harun berdiri, "dasar cewe!"

Haura mendengus sebal, ia mengumpulkan tenaga dan kembali berdiri, mereka berjalan ke area parkir. Selang beberapa menit, akhirnya sampai di depan sepeda motor kesayangan Harun. Tukang parkir langsung datang mengubah posisi sepeda motor, tangan Harun terulur membayar upah tukang parkir. Ketika tangannya merogoh kantong celana, kedua alis Harun menukik ke bawah, lantas ia menatap panik wajah Haura.

"Kunci! Kunci gua mana!?"

Haura ikut panik, "Hah, kamu taroh dimana?"

Sambil merogoh rogoh kantong ia menjawab, "Tadi gua taroh di kantong, masa kecopetan si."

Haura tak bisa berkata apa apa lagi selain ya Allah. Disaat seperti ini kepalanya mendadak gatal, hawa juga jadi panas, ditambah Harun panik kehilangan kunci, jujur Haura ingin teriak saja.

"Haura, kunci motor gua tolong!"

"Arghh," erang Haura berkacak pinggang, "cape!"

Saking geramnya, Haura spontan menarik peci Harun ke depan hingga matanya tertutup. Kemudian sebuah benda jatuh ke tanah, Haura langsung memungutnya, ternyata itu kunci motor yang dicari cari. Harun terdiam melihat Haura naik pitam.

"KUNCI MOTOR KAMU SIMPEN DALAM PECI?"

♡♡♡

Malam hari, seperti biasa melanjutkan proses ta'aruf, ada banyak sekali hal yang Nata tanyakan pada kedua orang tua Liana. Bertumpuk tumpuk hingga ia bingung mulai bertanya dari mana.

"Apa yang kamu bingungkan, Nak?" Suara lembut Adrian membuatnya menatap dalam.

"Liana, sifat aslinya apa, Bah?"

Adrian serta Dahlia bagai dihantam, "Kamu mau tau?" tanya Dahlia meyakinkan.

Nata mengangguk tanpa ragu.

"Kakak ngambekan, kaya anak kecil. Anaknya nggak bisa diem, udah gitu sering jahil." Jawaban Dahlia buat Nata mengangguk paham, bukan itu jawaban yang Nata mau. Kalau sifat aslinya begitu, Nata sudah tau, kan itu baru dasarnya.

"Kakak nggak bisa masak!"

Nata terlonjak lalu menjentikkan jari, jawaban Adrian lah yang ia mau. Kemudian Nata dan Adrian berkompak ria lalu menampar dada ala lakik. Berbincang-bincang mengenai pendekatan, banyak informasi tentang Liana yang unik, contohnya pas tidur gayanya kaya gasing.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang