37. diam diam

69 5 0
                                    

Semua santri berhamburan setelah sholat magrib. Sunset belum sepenuhnya tenggelam namun bulan sudah tsabit sudah menampakkan diri di atas langit. Liana menghirup udara segar sejenak memandangi taburan bintang yang kerlap kerlip. Sambil membawa mukena dan sajadah, pundak belakangnya di tepuk oleh Haura, menyuruhnya agar melanjutkan pembelajaran di kelas.

Di dalam kelas, Haura memijat pelipis kepala. Ia sudah menduga Liana akan tertidur jika Nata terlambat masuk kelas. Kedua kakinya berselonjor di atas kursi kosong sambil memeluk sajadah, matanya terpejam disertai mulut yang sedikit terbuka.

"Assalamualaikum."

"Walaikumusalam."

Semua pasang mata terkejut Nata masuk kelas tanpa aba aba. Baru duduk di kursi, Nata sudah mengarahkan pandangan ke istri kecilnya, ralat, santri bandel. Ia kembali bangkit sembari membawa penggaris besar yang ia sembunyikan di belakang badan.

Harun berbisik nada puas, "Mampus lo, Li."

Brakk!

"Anjir!"

Liana kaget ada suara, tapi lebih kaget dengan pemandangan di depan mata. Sudah ada Nata berdiri tegak menatap tajam bak tatapan elang. Dengan wajah tak menahu, ia segera menurunkan kaki dari kursi dan membenarkan posisi duduk.

"Duduk yang benar, saya mau mulai pelajaran."

"Iya, Ustadz."

Nata berbalik badan menuju kursi guru dan duduk di sana. Ia membuka buku dan menjelaskan materi dengan seksama. Selagi berterus terang mengenai pelajaran, Nata selalu menyembunyikan salah tingkah. Bagaimana tidak, istrinya senyam senyum di bangku barisan paling belakang.

Kepalanya miring ke kiri lalu ke kanan, tingkah lucunya bikin jantung Nata olahraga. Sambil menjelaskan dan murojaah, Nata mengelilingi ruang kelas karena bosan jika hanya duduk.

Liana menutup seluruh wajah dengan buku kian langkah Nata mendekat. Tak di sangka Nata malah duduk di sampingnya, di kursi kosong khusus ia menyelonjorkan kaki. Di belakang, Liana memberi kode agar Nata segera menjauh, tetapi Nata tak bisa menahan gejolak di dada, ia malah menggenggam jemari Liana di bawah meja.

"Lepasin nggak!" ucapnya berbisik geram kepada Nata yang tak tahu tempat jika mau bemesraan.

Nata tersenyum manis, bikin Liana terdiam meleleh, "Nggak mauuu."

Liana diam, sedikit menyengir. Lalu ia melarikan diri izin ke toilet dengan pipi bersemu kemerahan. Nata tertawa kecil dan menatap jari jemari, rada tremor juga sebenarnya.

Harun dan Haura rupanya sudah menotice mereka namun diam diam, Nata meletakkan jemari telunjuk di depan mulut berharap mereka mengerti. Harun dan Haura mengangguk kompak sembari mengacungkan jari jempol.

Tak lama kemudian Liana kembali lagi ke kelas, wajahnya sudah dibasahi air. Ia menutup mata dan menegaskan diri sendiri agar tak bisa tergoda oleh suami. Ia harus kuat iman. Baru melangkah kepala Nata sudah naik ke atas menantikan Liana datang, tak lupa kedua alisnya terangkat sempurna.

Duduk bersampingan bikin Liana nggak aman. Akhirnya Liana menulis sesuatu pada buku dan ia tunjukkan pada Nata.

Hus, jangan ganggu. Balik meja depan sana!

Kemudian Nata mengambil pen dari kantong baju lantas membalas tulisan tersebut.

Suami sendiri di usir, nggak mau lah..

Mendapat balasan seperti itu, Liana berulang kali menghela nafas. Karena semakin lama Nata duduk di sampingnya, semakin ia tak bisa menutupi salah tingkahnya.

Pulang sekolah, Liana memeluk Nata dari belakang sebab kedinginan. Hawa dingin menusuk tulang namun Nata merasakan kehangatan menyelimuti bagian tubuh belakang, begitu pun dengan Liana, juga merasa hangat. Di perjalanan mereka tak ada obrolan apa apa, Liana hanya menatap jalan lalu dagunya bertumpu pada bahu Nata.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang