28. Perhatian

76 8 0
                                    

Isya berkumandang, Nata menjadi imam sholat keluarga kecil. Perintah Adrian lah yang membuat Nata berdiri tegak memimpin shaf paling depan. Usai berwudhu, Liana melihat Nata begitu tampan dan bercahaya. Ia menyugar rambut ke samping lantas memasang peci, membuat segaris senyum tipis terbit di bibir. Habis isya, adalah penentuan, itulah mengapa Nata tak henti hentinya berdoa agar di permudah segala urusan.

Nata duduk bersila sembari menarik nafas dalam dalam sebelum mengutarakan perasaan untuk kedua kalinya di hadapan orang tua Liana.

"Jujur, selama beberapa hari ini fikiran saya dipenuhi rasa cemas karena jawaban belum pasti. Tujuan saya datang kemari adalah untuk memastikan jawaban kamu, Liana. Saya sadar diri dan tahu pasti kamu juga sedang bingung. Selama beberapa hari saya sholat istikharah meyakinkan hati saya agar tidak salah memilih teman hidup."

Nata menatap dalam ke arah Liana. "Apa kamu mau jadi teman hidup saya, Liana Zahira?"

Liana menautkan jari jemari lagi, sama dengan lelaki di seberang, akan tetapi bedanya Nata sangat gugup, jantungnya berdetak kencang bahkan disaat Liana belum bicara. Apa ia akan pulang membawa sebuah penolakan?

"Tidak ada paksaan dalam diri saya karena saya yakin, rencana Allah pasti terbaik karena sudah mempertemukan saya dengan lelaki seperti Kakak. Dengan begitu, aku terima Nata Utara Rahman menjadi calon suamiku."

Ucapan singkat itu menembak langsung ke dada, Nata tak bisa lagi menahan senyum dan segera menatap lekat kedua netra Liana yang disana ada pantulan dirinya. Nata mengucap hamdalah serta masyaAllah beberapa kali ketika melihat Liana tersenyum sampai gigi taringnya nampak. Senyuman itu, senyum paling manis yang pernah Nata lihat.

"Kalau begitu, Pak, Buk. Kita atur tanggal pernikahannya." Sepertinya Adrian memang sudah tidak sabar melepas Liana. Liana cemberut menoleh ke Abahnya, semangat sekali ingin berpisah, padahal ia masih ingin tinggal di rumah.

"Tunggu dulu," ujar Nata. Ia mengeluarkan sebuah kotak segi empat berwarna merah lantas memberikannya pada Ummi.

Anna mengulum senyum, ia mengambil kotak tersebut, membuka dan mengambil sebuah cincin emas di dalam. "Sini, Nak. Pasang cincin." Ia menepuk lantai agar Liana mendatangi.

Liana duduk bersampingan lantas cincin itu dipasangkan di jari manis. Ia kira hanya pasang cincin, ternyata ia juga dicium lekat lekat oleh Ummi, calon menantu yang akan ia jaga. Ada rasa senang dan sedih campur aduk jadi satu hingga setetes air mata jatuh ke permukaan pipi Nata.

Waktu berlalu di keheningan malam, ketika semua penghuni rumah sudah terlelap masuk ke ruang mimpi, Liana masih merenung sembari menatap tangan kiri yang telah terpasang sebuah cincin emas di jari manis. Dalam benaknya ia pun masih bertanya, apa ini benaran terjadi atau hanya mimpi di siang bolong? Liana mencubit lengan sendiri berujung meringis kesakitan.

Di seberang sana, Nata juga tak tidur, mengingat betapa menegangkannya saat ia berucap serius di hadapan Adrian. Pada akhirnya santri yang sering menjahili itu mengiyakan permintaannya menjadi istri pertama dan terakhir. Menatap taburan bintang di langit, ia masih terbaring nyaman di ayunan depan jendela kamar, seluruh tubuh sudah tertutup selimut. Ia tidak berada di kost, melainkan di rumahnya sendiri. Rumah bernuansa abu abu campur putih, di depannya ada taman bunga dan kolam ikan kecil.

Sekelebat bayangan wajah Liana muncul di pikiran, mengulum senyum adalah satu satunya menghindari salah tingkah walau tidak dilihat orang. Lagi asik santai, ponsel Nata keluar notif pesan, yang tadinya senang, moodnya mendadak turun drastis usai melihat pesan dari siapa.

Ustazah Indah
Assalamualaikum, Ustadz Nata.

Utarantaa
Walaikumusalam, ada apa?

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang