20. Ku kira prank

62 8 0
                                    

Di malam itu...

"Makasih, ya. Udah anterin gue ampe rumah."

Haura mengangguk, namun satu pertanyaan sangat ingin ia tanyakan. "Li, aku boleh nanya?"

Liana mengangguk cepat, "Heem boleh, apaan tuh?"

"Kamu sama Ustadz Nata ada apa?"

"Nggak ada hubungan apa apa kok," ujar Liana menutupi, namun sorot matanya memperkeruh.

"Alah bohong. Pasti ada apa apa nih," Haura menunjuk dengan jari telunjuk lantas memukul lengan Liana pelan, "ayo kasih tau!"

"Sekilasnya gini, Ustadz Nata ngasih hadiah biar gue semangat hafalan. Karena lo tau, gue buronan di kelas." Iya, Liana mengakui dirinya bandel.

"Nah gue minta satu hal ke Ustadz Nata. Kalau ngasih gue hadiah, gue cepet hafalin dan selesaikan masa hukuman. Kalau ngga, ya nggak papa. Sebenernya nggak berharap dikasih, cuman kan biar semangat gitu lo."

"Terus kenapa tadi debat sama beliau sebelum balik?"

"Karena Ustazah Indah."

♡♡♡

Keesokan harinya, Nata berjalan santai menuju kelas, sambil membawa buku materi dan ponsel di tangan kanan. Sore yang cerah, cahaya matahari masih menyinari area sekolah yang dihiasi tanaman pot. Bunga bunga nampak segar, indah dipandang mata. Kemudian ponselnya berdering menampilkan sederet nama Adrian di layar, dengan segera Nata menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum. Halo, Bah?"

"Walaikumusalam, Nak. Abah mau ngasih kabar duka." Ucapan Adrian di seberang sana reflek membuat Nata tegak berdiri.

"Innalilahi, siapa yang meninggal?"

"Kamu ini! Anak saya," ucapan Adrian terpotong karena jaringan.

Nata kesal, telepon tiba tiba menghubungkan ulang. Sesaat kemudian, suara Adrian muncul lagi. "Anak saya nggak bisa turun sekolah hari ini. Kena demam, sama kakinya sakit."

Nata membuang nafas berat, "Iya, Bah. Semoga Liana cepat sembuh ya."

Percakapan berakhir, lantas Nata mengusap wajah, suasana hati gundah dan gelisah. Nata berbalik, dan terkejut melihat Haura dan Harun sudah berdiri di belakangnya, menatap Nata dengan wajah bingung perihal temannya.

"Liana kenapa, Ustadz?" Gadis bernama Haura itu langsung bertanya.

"Liana sakit." Singkat saja Nata berkata lantas memasukkan ponsel ke dalam saku celana.

Harun membantah, "Paling dia cuma becanda, Ustadz." Nata menganggukan kepala dan menyentuh ujung dagunya. Benar juga, kemarin Liana sempat memprank, Adrian menginfokan putrinya tengah sakit.

"Iya juga, oke tunggu aja dulu sampai jam istirahat," usul Nata yang segera dianggukan oleh Haura dan Harun.

Jam istirahat tiba, gadis yang ditunggu tunggu tak kunjung menampakkan batang hidung. Nata menyenderkan pipi ke tangan sembari menatap arah luar kelas. Kapan gadis itu datang? Kapan suara cemprengnya terdengar? Tiba tiba saja Nata merindukan semua itu. Matanya beralih ke meja, air gelas tak ada disediakan hari ini, biasanya ada setiap hari.

Sampai tiba jam pulang, Nata benar benar tidak mood, tidak ada hal yang membuat semangatnya bangkit kembali. Mematikan lampu, Nata yang kebiasaan langsung memakai sendal arah depan, kini sepasang sendal Nata masih di tempat yang sama, dengan posisi seperti awal. Nata menghela nafas, hari yang ia jalani terasa berat, berasa membawa banyak beban di pundak.

Keesokan harinya, Gean bersama teman circlenya nongkrong seperti biasa di tempar parkir sepeda motor, wajah lelaki itu terlihat gelisah, sedari tadi, gadis bersepeda lipat yang di tunggu tunggu tak datang juga. Ketika bel berbunyi, ia membelalakkan mata melihat kursi Liana tak ada yang menempati. Gean berjalan, membuat Naira terdiam beserta kelopak matanya hendak tertutup, ia ngantuk.

"Mana anak ayam di sebelah lo itu? Telat ya?" Barinton Gean membuat Naira terlonjak.

"Ngga turun, sakit."

"Hah, sakit? Sakit apaan, orang kemaren dia sehat sehat aja," protes Gean. Ia tak percaya modelan reog kaya Liana juga bisa sakit.

Naira mengucek matanya, "Bacot banget! Kecapean paling, udah, dia mau istirahat."

"Lo," tunjuk Gean di dengan jari telunjuknya, "pulang sekolah, tunjukkin rumah Liana."

"Gue? Nggak mau!" bantah Naira.

♡♡♡

Membuka mata, bangun bangun jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore, selama itu dia tidur. Diam sejenak, ia mengatur nafas yang memburu, ia bangun perlahan dengan rambut aut autan. Tangannya membuka lemari, segera mengganti baju daster bermotif bunga. Sembari berjalan, kepalanya bagai komedi putar, berputar-putar hingga berjalan saja sulit ia kontrol.

Membuka pintu, Liana menghela nafas panjang. Ternyata di rumah tidak ada satupun orang, kedua orang tua beserta adiknya keluar mengurus sesuatu. Langkahnya berjalan menuju dapur, sedari tadi tenggorokannya sangat sakit, kemudian telinganya mendengar ada sesuatu yang mengetuk pintu dan memanggil namanya.

Tok tok tok

"Liana!"

Naira, itu suara Naira. Tanpa pikir panjang, Liana langsung mengenakan hijab instan lalu membuka pintu utama dan ya, ia terkejut dengan siapa yang ada di depannya. Liana menepuk dahi, entah mengapa ia mendengar memang suara Naira yang memanggil.

"Iya, ngga terima tamu cowo, ada keperluan apa?" Baru membuka pintu, Liana sudah menyambar galak tamunya.

Mendengar itu Gean rada syok, "Pa-pacar gue sakit, gue mau jenguk sebentar."

Kedua mata Liana terbelalak, "Pacar? Nggak ada pacar lo di sini."

Gean menantang, "Lo pacar gue."

Sejenak Liana memijat pelipis mata, "Lo pergi atau gue lempar lo ke laut, biar di makan sama megalodon."

Gean mengibas tangan di depan wajah, "Duh, cerewet banget."

Gean ingin masuk menerobos pintu masuk, namun segera dihalangi Liana, "Heh, gue ga terima tamu cowo masuk rumah gue! Gak sopan lo ya, gue geprek lo!" Nada suaranya lebih nyaring.

Sesaat, suara sepeda motor Harun datang bersama dengan Haura. Liana memutar bola mata tatkala melihat lelaki yang sangat ingin ia hindari. Nata Utara Rahman, lelaki itu datang membawa kantong kresek banyak, memenuhi jari jari tangannya. Gean yang posisinya masih di depan pintu bingung melihat mereka.

"Assalamualaikum," ucap Harun, Haura, dan Nata serempak.

"Walaikumusalam," balas Liana dengan wajah suram.

Langkah Nata maju hingga mampu membuat Liana mundur perlahan dengan kakinya yang masih terpincang-pincang, "Liana, saya udah minta izin sama Abah kamu, saya sama temen temen kamu boleh jenguk kamu kata beliau."

Ah sangat dekat, Liana menegakkan tubuh dan beralih menatap Haura dan Harun. Mengagguk dan berkata, "Masuk."

Liana berbalik badan di ikuti mereka yang masuk kemudian duduk di ruang tamu. Tak ketinggalan Gean juga membuntuti dari belakang, ia juga ikut masuk.

"Tunggu sebentar, mau bikin minum." Liana menatap Nata yang kemudian dibalas anggukan.

Haura beranjak dari duduk dan segera mengikuti Liana menuju dapur. Di ruang tamu, hanya ada keheningan. Antara Gean dan Nata. Gean menatap Nata dengan tatapan tak suka, begitupun sebaliknya. Harun agak terkejut setelah melihat Nata terpancar aura kemarahan. Gean memandangi Nata dari bawah sampai atas, lelaki di seberangnya itu memakai baju koko warna abu abu, dibalut celana hitam serta jam tangan hitam melingkar di pergelangan tangan.

"Ustadz," panggil Liana dengan suara serak.

Suara itu membuat mereka memusatkan perhatian pada Liana yang kini membawa beberapa teh di atas nampan, di iringi bersama Haura membawa beberapa piring kosong.

Gean membatin, "Ustadz?"

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang