Menikah?

281 70 0
                                    

Jihan, duduk bersama kedua orang tua Abay di ruang tamu. Gadis itu menunduk. Ia bingung dengan apa yang diminta ayah dan bunda.

"Bunda sama ayah takut Abay keenakan sendirian, kami mau kamu jadi calon istri Abay, apa kamu bersedia Jihan?" tanya bunda dengan bicara bernada lembut.

"Ibu, Bapak, sebelumnya mohon maaf. Saya, tidak bisa menjawab apa-apa, saya juga tidak ada perasaan apa pun sama Abay, saya takut kalau saya mengiyakan, kedepannya akan banyak kendala. Bukan berarti saya minta pacaran, enggak Bu ... Pak. Saya hanya minta waktu untuk kami saling kenal. Itu juga kalau Ab–"

"Abay enggak suka jodoh-jodohan gini, Bun, Yah. Apaan sih, kayak orang dulu aja." Kata-kata Abay membuat semua menoleh ke arahnya yang baru turun dari lantai dua.

"Bay, Ayah sama Bunda capek liat kamu luntang lantung enggak jelas gini. Malu sama umur, Bay, mau tiga puluh kamu, tuh!" Bunda langsung cerewet.

"Bay, Jihan anak baik, Ayah restuin kalian lho," kini ayah ikut bicara.

"Tapi Abay enggak suka sama Jihan!" Abay berjalan ke arah pintu dapur dan menghilang di balik dinding taman belakang. Jihan diam, kata-kata Abay menusuk ke perasaannya. Membuatnya meremas ujung baju yang dikenakan. Apa yang salah dengan dirinya. Seharusnya Abay jangan berbicara seperti itu di hadapannya.

***

"Aba, hari ini ke masjid lagi, 'kan?" Jihan menghidangkan menu sahur untuk menjalankan puasa sunnah bersama ayahnya.

"Iya, dan kebetulan, Aba kemarin ketemu sama orang, dia mau sedekah karpet baru sama pendingin ruangan untuk masjid. Aba udah bilang sama pengurus masjid, dan hari ini datang semua barangnya."

"Alhamdulillah. Gini, Ba, Jihan kayaknya malem banget pulangnya karena akhir bulan, batuin urus pembukuan restoran."

"Ok sayang, hati-hati yang penting, ya." Aba mengusap kepala Jihan, ia lalu mengangguk.

Sore hari saat Jihan masuk di waktu shift nya, restoran ramai karena setengah tempat di booking untuk acara ulang tahun suatu kampus dan untuk makan-makannya diadakan di sana.

"Jihan, kamu siapkan piring-piringnya, ya, takut ada yang kurang, mereka baru dateng kok, masih nunggu beberapa lagi, sih, katanya."

"Ok, Pak. Saya ke sana ya." Jihan menuju ke tempat penyimpanan peralatan dan dengan menggunakan kereta dorong ia mulai menata meja yang khusus dipesan untuk acara itu. Setelah siap, Jihan diminta menuju ruangan manajer untuk membantunya mengerjakan pembukuan.

Waktu sudah maghrib. Jihan meminta izin untuk buka puasa. Ia membawa botol minuman berisi air putih dan kotak bening berisi kurma dan susu. Ia duduk di luar restoran. Tepatnya samping pintu keluar karyawan yang ada di belakang.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Jihan langsung meminum air putih untuk membatalkan puasa.

Sepasang mata menatapnya dengan intens. Jihan memang duduk sendirian sambil memakan kurma diselingi susu putih. Ya, orang itu Abay. Ia sedang merokok setelah selesai makan.

"Pak, sini sebentar, mau tanya, dong. Itu ..., karyawan itu ngapain makan sendirian?" Abay bertanya kepada satpam restoran.

"Oh..., Mbak Jihan. Dia buka puasa, Mas, puasa sunnah, udah rutin dilakukan, saya juga suka ketularan ikut puasa jadinya," kekeh satpam.

"Oh ... gitu."

"Iya. Rajin dia, Mas, kalo ngobrol sama mbak Jihan enak, nggak kaku, jadi kalo ngomongin agama enggak diktator."

Abay mematikan puntung rokok yang masih ada setengah batang dengan cara diinjak. "Ok, makasih, Pak." Abay menepuk pundak satpam. Ia lalu masuk ke dalam setelah menghabiskan sebatang rokoknya.

Senyawa (Repost) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang