Dua minggu setelah lebaran, mereka memutuskan memeriksakan kesehatan di rumah sakit. Jihan dan Abay menjalani serangkaian pemeriksaan detail. Hingga menyangkut ke sel telur, rahim Jihan dan sperma Abay. Mereka harus menunggu beberapa waktu untuk mengetahui hasil semuanya.
Setelah menunggu beberapa waktu, mereka datang kembali ke rumah sakit. Abay terlihat tegang dengan hasil yang akan dibacakan dokter,sedangkan Jihan bisa menutupi ketegangan itu dengan tetap istighfar dan berdzikir.
Dokter wanita itu membuka hasil pemeriksaan. Ia membaca dengan seksama, lalu menutup map dan menatap ke kedua pasangan suami istri di hadapannya.
"Hasilnya, kesehatan bapak dan ibu sama-sama sehat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tetap ikhtiar, berusaha, nanti bu Jihan saya kasih resep vitamin ya, dan bapak juga, kalau kalian berdua mau memprogramkan, bisa, nanti kita atur waktunya, semuanya sesuai hitungan," dokter itu tersenyum. Tampak kelegaan diwajah Jihan dan Abay. Mereka saling melempar senyum.
Selepas keluar dari ruangan dokter, mereka langsung menuju ke mobil untuk menuju ke makam ibunda Jihan. Abay menatap Jihan sesaat setelah duduk didalam mobil.
"Alhamdulillah kita sehat Jihan, nggak ada mandul-mandulan," ucap Abay yang tampak sangat lega.
"Sekarang berarti, kita tinggal banyak berdoa dan meminta-minta ke Allah, mungkin saat nya sekarang kita makin sering dialog ke Allah." Jihan tersenyum.
"I love you." Abay mengecup jemari Jihan.
"I love you to, Mas Abay ku sayang." Jihan membelai wajah Abay dan balik mengecup jemari tangan Abay.
***
"Nah kan ... aman semua, sehat? Emang dasar itu Adek-adeknya bunda bener-bener mulutnya," ledek Yasmine yang gregetan dengan kelakuan tante-tantenya itu.
"Eits, salah kamu. Adek-adek ipar bunda, Adek kandung Bunda kan cowok semua tiga orang, harap catat," jawab bunda sambil terkekeh.
Jihan tersenyum dan bersandar di bahu ibu mertuanya. Bunda membelai wajah Jihan dan menepuk-nepuk pelan.
"Tadi ke makam Bunda kamu Jihan?" tanya ibu mertuanya. Jihan mengangguk.
"Udah lama nggak kesana. Kebetulan Aba juga masih di bogor. Jadinya Jihan berdua aja sama Mas Abay." Jihan menjawab sambil tetap bersandar. Abay menatap kedekatan istri dan ibundanya merasa bahagia dan sangat bersyukur. Ia meletakan cangkir kopi dan bersandar di bahu ayahnya.
"Apa sih, Bay! Udah tua!" protes ayahnya. Semua tertawa, acara kumpul keluarga terasa hangat dan nyaman karena kasih sayang dan cinta yang berlimpah dari semuanya. Jihan tak merasa kekurangan kasih sayang seorang ibu dan saudara-saudara yang tak ia miliki.
***
Bergulir waktu seakan terus mengejar mereka kembali ke titik yang sama.
Dua tahun masuk usia pernikahan mereka. Masih belum tampak tanda kehamilan Jihan. Abay mulai terpengaruh omongan orang sekitar. Ia sering diam dan merenung. Jihan mulai risih melihatnya.
"Kepikir aku belum hamil juga, Mas?" tanya Jihan sambil berdiri di sebelah Abay yany menatap keluar jendela kamar.
"Wajar, lah," jawab Abay ketus. Jihan diam. Ia kembali melihat sosok Abay sebelum menikah dengannya.
"Mas Abay, apa kita program aja, kita coba yok ke dokter lagi." Jihan menggenggam jemari Abay. Ia menoleh seketika.
"Yang lagi dijalanin sekarang aja nggak ada hasil, mau pindah dokter?! Kemana." Abay judes. Jiha, tercekat karena mata Abay melotot ke arahnya. Jihan merasa nyeri di dadanya. Ia tak pernah melihat Abay sekesal ini.
"Mas, ambil wudhu, biar tenang,sholat isya, belum, 'kan?"
"Udah tahu." jawab Abay ketus lagi. Ia lalu keluar kamar sambil menyambar jaket yang tergantung di dekat pintu.
"Mas, lho, Mas Abay mau kemana, Mas?" Jihan mengikuti langkah kaki Abay hingga ke garasi samping.
"Aku kerumah Dino dulu, assalamualaikum," pamit Abay.
"Waalaikumsalam," lalu deru knalpot motor Abay terdengar menjauh dari pagar rumah.
"Lindungi suami hamba Ya Allah, beri kesabaran kepadanya." Jihan memegang dadanya lalu menutup pintu pagar.
Jam terus bergerak, Jihan baru selesai melakukan sholat malam, jam satu dini hari. Abay belum pulang. Ia mulai khawatir.
Ia menghubungi Abay dan Dino, tak ada jawaban. Jihan duduk di ruang tamu sambil terus berdoa. Ia khawatir dengan suaminya itu.
Ia lelah, kantuk terasa sangat. Jam kembali menunjukan pergerakannya. Hampir jam dua dini hari. Suara deru motor Abay terdengar. Jihan beranjak dan membuka pintu garasi.
"kamu kok belum tidur?" Abay bertanya seraya melepas helm dan meletakan di tempatnya.
"Nunggu kamu, Mas, kamu di tempat Dino aja atau jalan kemana?"
Jihan mematap Abay lekat. "Iya di sana, tadi keasikan ngobrol sama Dino dan adeknya, jadi lupa waktu." Abay berjalan mendahului Jihan. Ia mengunci pintu dan menyusul ke dalam kamar.
"Ganti baju ya, Mas, terus tidur, hampir subuh. Kamu ada peresmian produk baru dari kantor, jangan sampai mata kamu sembab karena kurang tidur."
"Iya, aku ganti baju dulu terus tidur, kamu juga." Abay berjalan ke dalam kamar mandi. Jihan masing menunggunya di tempat tidur. Hingga Abay keluar dan berjalan ke ranjang, merebahkan tubuh di sebelah istri tercinta.
"Maaf tadi aku marah dan agak ketus ke kamu, aku minta maaf Jihan." Abay memeluk istrinya itu dan menyembunyikan kepalanya di ceruk leher Jihan.
"Iya, Mas, aku kaget aja tadi kamu agak tinggi nada ngomongnya, tapi nggak apa-apa, manusia biasa kita, yang punya emosi, tidur, Mas." Jihan memiringkan badannya menghadap ke Abay. Mengusap pelan wajah suaminya itu hingga terlelap. Sedangkan Jihan sendiri tak bisa tidur. Ia hanya bisa terpejam dan diam, berkutat dengan pikirannya sendiri.
***
Beberapa minggu berlalu hingga Jihan merasakan yang aneh pada tubuhnya. Ia diam saja. Tak mau merasa terlalu percaya diri atas apa yang ia pikirkan. Abay memanggilnya dari luar pintu kamar mandi, sudah hampir lima belas menit Jihan tak keluar. Sedangkan Jihan diam sambil menatap benda dengan ujung berwarna biru itu.
Ia menatap lekat, tak mau berpindah sedikit bola matanya. Tak lama ia beranjak. Memutar kunci dan membuka pintu perlahan. Ia menatap Abay yang tahun itu berusia tiga puluh dua tahun, tapi tampak seperti usia dua puluhan. Terlalu tampan.
"Ini ...." Dengan tangan sedikit gemetar, Jihan memberikan benda itu ke tangan Abay. Dengan kedua matanya Abay menatap dan mencerna hasil yang muncul. Ia memeluk Jihan dan mengusap punggung istrinya itu dengan sayang.
"Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, ayok kita pastiin ke dokter ya, aku izin nggak kerja." Peluk Abay karena Jihan menangis bahagia. Ia hamil. Tanda plus tampak di alat tersebut.
To be continue,
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa (Repost) ✔
RomanceBlurb : Cinta itu butuh kepercayaan, yakin, juga ikhlas menerima segala kekurangan. Karena kelebihan itu hal biasa. Jihan dan Abay, mereka menerima itu, bahkan disaat ujian berat datang menghampiri, tidak ada satu alasan untuk keduanya tidak Senyaw...